REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Dwina Agustin
Pejuangan untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik, selalu menjadi mimpi para imigran yang melangkah ke perbatasan. Sayangnya, keputusan ini tak selalu berujung manis.
Yang kerap terdengar, banyak jalan berliku yang harus dihadapi, sebelum akhirnya mendapat nasib baik merajut masa depan yang lebih baik. Mulai dari, sulitnya menyeberangi perbatasan, bahaya yang terus mengintai selama perjalanan, hingga perizinan yang makin dipersulit di negara yang akan didatangi.
Hasil akhir dari perjuangan ini pun terkadang begitu memilukan. Tindakan Patroli Perbatasan Amerika Serikat (AS) memicu demonstrasi besar ketika dua anak meninggal dunia pada Desember 2018.
Setelah satu tahun berjalan, investigasi yang dilakukan Departemen Keamanan Dalam Negeri Inspektur Jenderal (OIG) menghasilkan keputusan bahwa petugas sama sekali tidak melakukan kesalahan. "Tidak ada kesalahan atau penyimpangan oleh personel DHS," ujar OIG merujuk pada Departemen Keamanan, dikutip dari Time.
Kedua anak yang meninggal tersebut adalah Felipe Gomez Alonzo yang berusia delapan tahun dan Jakelin Caal Maquin yang berusia tujuh tahun. Ada pula anak-anak lain yang juga meninggal dalam tahanan imigrasi, atau tidak lama setelah pembebasan mereka. Dalam kasus Maquin, OIG mengatakan, anak itu sakit demam dan muntah-muntah.
Kondisi ini terjadi setelah Patroli Perbatasan memindahkan dia dan ayahnya ke fasilitas di Lordsburg pada 7 Desember 2018. Ketika gadis itu dan ayahnya tiba di Lordsburg, personel medis darurat mulai merawatnya dan menerbangkan gadis itu ke rumah sakit. Sementara ayahnya mengikuti dengan mobil yang dikendarai oleh Patroli Perbatasan.
OIG mengatakan, otopsi pemeriksa medis menyatakan, anak tersebut meninggal di rumah sakit pada hari berikutnya karena mengalami sekuel sepsis Streptococcal. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, Streptococcus dapat menyebabkan berbagai penyakit, termasuk radang tenggorokan, demam memerah dan demam rematik akut, umum terjadi pada anak-anak antara lima hingga 15 tahun.
Pada 18 Desember, seorang bocah lelaki berusia delapan tahun dan ayahnya ditangkap di dekat El Paso, Texas. Pada 24 Desember, setelah diangkut ke sebuah pos pemeriksaan di Alamogordo untuk menunggu penempatan, seorang agen melihat anak itu tampak sakit.
Staf membawa anak itu dan ayahnya ke rumah sakit terdekat. Setelah didiagnosis dengan infeksi saluran pernapasan, anak tersebut dipulangkan dan dikirim ke fasilitas patroli perbatasan.
Meskipun anak tersebut sempat membaik sebentar, kondisinya akhirnya memburuk dan dibawa lagi ke rumah sakit. Setelah tiba, anak itu tidak responsif dan dinyatakan meninggal.
OIG mengatakan, pemeriksaan medis menunjukkan anak itu meninggal karena sepsis yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, bakteri Staphylococcus aureus adalah jenis kuman yang dalam banyak kasus tidak menyebabkan bahaya, tetapi kadang-kadang dapat menyebabkan infeksi serius.
Ketegangan di perbatasan AS-Meksiko memang terus meningkat sejak kedatangan ribuan imigran di pengujung tahun lalu. Pada November 2018, agen perbatasan AS menyemprotkan gas air mata ke arah kerumunan migran, yang di dalamnya terdapat anak-anak, yang mencoba menyeberangi perbatasan.
Rombongan imigran yang melakukan perjalanan dalam kelompok besar, biasa dijuluki 'karavan'. Nereka menempuh perjalanan lebih dari 4.000 kilometer dari Amerika Tengah. Di antara mereka banyak keluarga yang membawa anak kecil.
Presiden Donald Trump berjanji membuat setiap imigran tetap di sisi perbatasan Meksiko sampai pengadilan memutuskan kasus mereka. Sembari menunggu proses persidangan yang memakan waktu, mereka menghabiskan waktu di tempat-tempat penampungan sementara di kota perbatasan Meksiko Tijuana dan Mexicali, yang lokasinya 180 kilometer ke arah timur AS. N ed: setyanavidita livikacansera