Jumat 27 Dec 2019 07:43 WIB

Perempuan India Bergerak Melawan UU Kewarganegaraan

Anak muda, terutama perempuan, menjadi garda terdepan dalam protes UU Kewarganegaraan

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Mahasiswa Jamia Millia Islamia University berunjuk rasa menentang Undang-Undang Kewarganegaraan India di New Delhi, Rabu (18/12). Anak muda, terutama perempuan, menjadi garda terdepan dalam protes UU Kewarganegaraan.
Foto: AP Photo/Altaf Qadri
Mahasiswa Jamia Millia Islamia University berunjuk rasa menentang Undang-Undang Kewarganegaraan India di New Delhi, Rabu (18/12). Anak muda, terutama perempuan, menjadi garda terdepan dalam protes UU Kewarganegaraan.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Anak muda, terutama perempuan, menjadi garda terdepan dalam protes-protes menolak Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan (CAA). Keberanian mereka tidak bisa diragukan, terlebih lagi ketika keluarga justru menjadi musuh dalam pergerakan.

Banyak orang tua dari demonstran muda mengirimkan pesan WhatsApp kepada mereka. Isi pesan tersebut berupa informasi yang salah, bahkan menyalahgunakan pendirian mereka tentang undang-undang kewarganegaraan baru India.

Baca Juga

Kondisi ini membuat perempuan muda pun menyembunyikan identitas di media sosial. Hal ini agar mereka tetap bisa menyuarakan kemarahan dan menemukan sekutu di luar keluarga dalam pergerakan melawan peraturan kontroversi itu.

"Dia hanya memiliki kebencian terhadap umat Islam. Setiap kesempatan yang hilang dalam hidupnya, dia menyalahkan mereka," kata salah satu perempuan yang menyembunyikan identitas bernama samaran Priya.

Priya ikut serta dalam protes. Hal yang paling menakutkan bukan tindakan keras polisi anti huru hara yang sudah membuat 25 orang meninggal dunia. Dia justru merasa sangat takut kepada ayahnya yang beragama Hindu mencari tahu keberadaannya dan menghentikan pendidikannya.

"Saya telah mencoba berkali-kali untuk berbicara dengannya. Tetapi, setiap percakapan kami berakhir dengan dia mengancam akan menarik saya keluar dari perguruan tinggi dan membuat saya menikah," kata siswa berusia 20 tahun itu dikutip dari Aljazirah.

Selain itu, Priya pun berhadapan dengan keluarga yang selalu membombardir pesannya dengan berita dan video yang memuat informasi palsu. Untuk melawan sikap itu, dia biasanya membalas dengan tautan ke situs web pengecekan fakta.

Pemimpin redaksi Pemuda Ki Awaaz Anshul Tewari mengatakan perang pesan WhatsApp seperti kasus Priya secara efektif telah menjungkirbalikkan hubungan pribadi. Banyak anggota keluarga yang menunjukan perbedaan pandangan politik, akhirnya harus menyamarkan diri.

"Orang-orang muda dewasa ini sangat peduli untuk memiliki suara dan didengar," kata Tewari menunjuk pada protes pro-demokrasi di Hong Kong dan pawai perubahan iklim di seluruh dunia.

Berbeda dengan rekan-rekan muda pergerakan di belahan dunia lain, anak-anak muda India harus menemukan cara lain untuk mengekspresikan diri. Kondisi ini terjadi karena latar belakang budaya yang menempatkan nilai besar pada otoritas orang tua.

"Dalam banyak kasus, orang tua India merasa berhak untuk memutuskan siapa yang harus disayangi anak-anak mereka, bagaimana mereka harus hidup, dan bahkan bagaimana mereka harus berpikir," kata Tewari.

Bahkan, pengaturan lebih ketat terjadi pada perempuan. Mereka sering diancam dan mendapatkan pembungkaman lebih ekstrem dari anak laki-laki yang bersuara menunjukan pendapatan berbeda.

Salah satu kasus terjadi pada Sweta Bagaria yang menggunakan nama samaran. Dia bersuara untuk mendapatkan pekerjaan dan menjadi perempuan pertama yang melakukan hal itu.

Atas keputusan tersebut, perempuan berusia 27 tahun ini mendapatkan pelecehan fisik dan finansial dari orang tua konservatif beragama Hindu. Orang tuanya mengendalikan rekening banknya, memukulinya, dan menolak menyerahkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk menyewa flat.

Seperti Priya, editor video yang berbasis di Mumbai ini telah secara aktif terlibat dalam demonstrasi menentang CAA. Dia menyatakan pengesahan peraturan itu merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia.

Pandangan Bagaria telah mendorong ganjalan yang lebih besar antara dia dan orang tuanya. Dia mengambarkan orang tuanya sebagai orang-orang fanatik yang tidak mau mempekerjakan atau bekerja dengan Muslim.

"Saya dulu merasa benar-benar sendirian sampai tahun ini, ketika saya menemukan komunitas daring di Twitter yang sedang mengalami konflik serupa di rumah," kata Bagaria merasa menemukan keluarga pengganti.

Gejolak protes menentang CAA pun membuat Bagaria merasa perjuangannya melawan keluarganya belum seberapa. Dia melihat kondisi Muslim lebih terdiskriminasi di India dan penting baginya untuk ikut bersuara menentang.

Sejak demonstrasi dimulai, Bagaria telah berbagi pamflet dan menghasilkan video yang mendesak orang lain untuk terlibat dalam protes. Dia telah menorehkan beberapa keberhasilan, seperti meyakinkan seorang teman yang tidak pernah memilih untuk berpartisipasi dalam serangkaian demonstrasi.

CAB sah menjadi Undang-Undang baru mengubah Undang-Undang 1955 pada 13 Desember. Dalam perubahan itu, India dapat memberikan kewarganegaraan kepada umat Hindu, Budha, Jain, Kristen, Sikh, dan Parsis menghadapi penganiayaan di Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan. Akan tetapi, UU itu tidak memasukkan Muslim.

Poin tersebut menuai protes karena mendiskriminasikan Islam. Protes pun pecah di berbagai wilayah India dan mendapatkan kencaman dari banyak pihak, termasuk Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang merasa prihatin atas keputusan tersebut.

sumber : Al Jazirah/AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement