Sabtu 28 Dec 2019 14:00 WIB

PBB Tetapkan Resolusi untuk Rohingya

Sidang Majelis Umum PBB menyepakati resolusi untuk pelanggaran HAM Rohingya

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Christiyaningsih
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11). Sidang Majelis Umum PBB menyepakati resolusi untuk pelanggaran HAM Rohingya. Ilustrasi.
Foto: Nyunt Win/EPA EFE
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11). Sidang Majelis Umum PBB menyepakati resolusi untuk pelanggaran HAM Rohingya. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui kesepakatan resolusi untuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap Muslim Rohingya di Myanmar. Berdasarkan hasil pemungutan suara, sebanyak 134 negara sepakat dengan resolusi, sembilan lainnya menolak, dan 28 negara abstain. 

Dukungan resolusi tersebut termasuk menyerukan kepada pemerintah Myanmar agar mengambil langkah-langkah mendesak untuk memerangi hasutan kebencian terhadap Rohingya dan minoritas lainnya di Rakhine, Kachin, dan Shan. Resolusi tersebut juga menyerukan penghentian pertempuran dan permusuhan. Resolusi PBB ini tidak mengikat secara hukum tetapi mencerminkan pendapat dunia.

Baca Juga

Duta Besar PBB untuk Myanmar, Hau Do Suan menyebut, resolusi itu merupakan contoh klasik standar ganda dengan penerapan norma-norma hak asasi manusia yang selektif dan diskriminatif. Dia mengatakan resolusi ini dirancang untuk memberikan tekanan politik kepada Myanmar. Menurut Hau, resolusi tersebut tidak akan memberikan solusi terhadap situasi yang cukup kompleks di negara bagian Rakhine.

"Resolusi itu akan menabur benih ketidakpercayaan dan akan menciptakan polarisasi lebih lanjut dari berbagai komunitas di wilayah tersebut," ujar Hau.

Resolusi ini mengungkapkan kekhawatiran terhadap masuknya pengungsi Rohingya yang terus menerus datang ke Bangladesh selama empat dasawarsa terakhir. Hingga saat ini, jumlah pengungsi Rohingya mencapai 1,1 juta termasuk 744 ribu pengungsi yang datang pada Agustus 2017.

PBB juga menyatakan kekhawatiran atas temuan misi pencari fakta internasional independen tentang pelanggaran berat hak asasi manusia dan pelanggaran yang dialami oleh Muslim Rohingya serta minoritas lainnya oleh pasukan keamanan Myanmar. Laporan tersebut menyebutkan bahwa tindakan tersebut merupakan kejahatan paling berat menurut hukum internasional.

Resolusi PBB menegaskan duka yang mendalam terhadap orang-orang yang tidak bersenjata di Rakhine terus menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia. PBB menyerukan kepada pasukan militer Myanmar untuk melindungi semua orang, termasuk mengambil langkah mendesak untuk memastikan keadilan bagi semua pihak.

Resolusi tersebut juga mendesak pemerintah Myanmar mempercepat upaya untuk menghilangkan diskriminasi terhadap Rohingya dan etnis minoritas lainnya, terutama dalam mendapatkan kewarganegaraan. PBB menyerukan kepada pemerintah Myanmar agar dapat mengembalikan para pengungsi Rohingya secara bermartabat ke tempat asal mereka.

Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai etnis mereka. Myanmar menganggap Rohingya sebagai orang Bengali meski keluarga mereka secara turun menurun telah tinggal di negara tersebut. Myanmar menolak memberikan status kewarganegaraan kepada etnis Rohingya sejak 1982. Dengan demikian, secara otomatis kebebasan dan hak-hak dasar mereka tidak dijamin oleh negara.

Krisis Rohingya meletus pada 25 Agustus 2017 ketika militer Myanmar meluncurkan kampanye pembersihan etnis di Rakhine. Dalam operasi tersebut, pasukan keamanan Myanmar melakukan pemrekosaan, pembunuhan, dan membakar ribuan rumah warga Rohingya. Hal ini menyebabkan eksodus massal warga Rohingya ke Bangladesh.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement