REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Angka perceraian di China pada 2019 diperkirakan memecahkan rekor tertinggi selama 15 tahun terakhir. Hingga triwulan ketiga tahun ini saja sekitar 3 juta pasangan suami-istri di negara berpenduduk terbanyak itu telah mengajukan perceraian.
Jumlah itu diperkirakan meningkat 200 ribu pasutri yang bercerai pada tahun lalu. Hal itu berdasarkan data statistik Kementerian Catatan Sipil China (MOCA) dikutip media resmi setempat, Selasa (31/12).
Dalam video yang beredar luas di masyarakat, Ketua Mahkamah Agung China Zhou Qiang mengemukakan bahwa 74 persen perkara perceraian yang terjadi selama periode 2016-2017 diajukan oleh pihak istri. Menurut dia, perceraian terjadi setelah tiga tahun masa perkawinan dengan rata-rata selisih usia suami-istri tiga tahun ke bawah.
Dalam naskah peraturan pencatatan sipil yang akan diajukan kepada Kongres Nasional Rakyat (NPC) pada tahun depan terdapat usulan masa "cooling down" selama 30 hari bagi pasangan yang mengajukan gugatan perceraian. Selama masa 30 hari tersebut, masing-masing pihak dapat mencabut gugatan perceraian di kantor pencatatan perkawinan setempat.
Masalah perceraian menyita perhatian luas khalayak China, bahkan topik yang diunggah di Sina Weibo (Twitter-nya China) telah dilihat 200 juta kali. Beberapa pengguna internet di China meyakini bahwa masa "cooling down" itu dapat menghindari keputusan gegabah dan menyelamatkan mahligai pernikahan, meskipun kasus tersebut dipicu oleh rumitnya persoalan rumah tangga.
Prof Xia Yinlan dari Universitas Ilmu Politik dan Hukum China (CUPSL) Beijing yang pernyataannya dikutip Global Times, berpendapat bahwa periode masa tenang tersebut mungkin saja dapat menurunkan angka perceraian. Namun usulan masa tenang itu bukan berarti membatasi kebebasan warga untuk bercerai.