Rabu 01 Jan 2020 07:31 WIB

Konflik Berebut Air Meningkat di Dunia

Berkurangnya pasokan air bersih meningkatkan konflik di dunia.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Air bersih (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Air bersih (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Kekerasan yang terkait dengan air telah meningkat dalam dekade terakhir. Menurut database komprehensif konflik terkait dengan sumber daya vital menunjukan ketegangan terjadi akibat berkurangnya pasokan air bersih di banyak bagian dunia.

"Ketika air menjadi semakin langka, karena ini merupakan sumber daya yang kritis, orang akan melakukan apa pun yang dapat mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka," kata Presiden pendiri Institut Pasifik dan otoritas terkemuka dalam masalah air Peter Gleick.

Baca Juga

Tercatat insiden kekerasan terkait air meningkat lebih dari dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir dibandingkan dengan dekade sebelumnya. Kondisi itu sebagai akibat dari pertumbuhan populasi, pengelolaan sumber daya yang buruk, dan peristiwa cuaca ekstrem yang terkait dengan krisis iklim.

Statistik yang dilakukan oleh lembaga Pacific Institute yang berbasis di Kalifornia, Amerika Serikat, mendokumentasikan kasus-kasus di mana air menjadi pemicu pertempuran. Air pun sangat mudah digunakan sebagai senjata atau dapat terganggu oleh konflik.

Salah satu kasus adalah penembakan pada Juni 2019 di dekat pipa air di Horlivka, Ukraina. Peristiwa itu menyebabkan 3 juta orang di kedua sisi garis depan tanpa pasokan air yang dapat diandalkan.

Kasus penembakan lima petani pada Juni 2017 memprotes air dan masalah lainnya di negara yang dilanda kekeringan. Ada pula sebuah serangan senjata pada konvoi tanker air di provinsi Papua Barat Indonesia pada 2012.

Gleick mengakui, peningkatan pelaporan kasus berkat kemajuan konektivitas dalam mengabarkan. Namun, database mengungkapkan penurunan kecil dalam insiden yang dilaporkan antara 2000 dan 2010, menunjukkan peningkatan teknologi komunikasi tidak sepenuhnya menjelaskan tren.

"Buktinya jelas ada kekerasan yang tumbuh terkait dengan sumber daya air tawar, baik konflik atas akses ke air dan terutama serangan terhadap sistem air sipil," kata Gleick.

Dikutip dari The Guardian, bersamaan dengan kelangkaan air tawar dan memperburuk, ada keinginan yang meningkat oleh pasukan tempur untuk mempersenjatai pasokan air. Cara itu dilakukan terutama dalam konflik Timur Tengah baru-baru ini.

"Telah ada sejumlah besar serangan dalam beberapa tahun terakhir di Yaman tetapi juga di Suriah dan Irak, di mana jelas dalam pelanggaran langsung terhadap hukum internasional, infrastruktur air sipil telah sengaja ditargetkan, tanpa henti," ujar Gleick.

Di satu kota di Suriah, Aleppo, basis data mencakup entri seperti serangan pada 2012 pada pipa yang membuat kota berpenduduk 3 juta orang itu kekurangan air parah. Dua tahun kemudian, pemerintah Suriah dituduh membom stasiun pompa dan jaringan distribusi air di daerah-daerah yang dikuasai oposisi.

Pada 2014, ISIS dituduh meracuni persediaan air ke kota. Setahun kemudian, milisi Jabhat al-Nusra membom pipa air utama, yang menyebabkan keracunan lebih dari 100 penduduk Aleppo.

Sedangkan, laporan Unicef, pilot Rusia menghantam sebuah fasilitas pengolahan air, memotong pasokan ke lebih dari 3 juta orang. Ketika tentara Suriah bergerak di Aleppo timur pada 2017, ISIS dilaporkan membanjiri desa-desa untuk mencoba memperlambat serangan.

World Resources Institute mengatakan pada Agustus, 17 negara yang merupakan rumah bagi seperempat populasi dunia menghadapi tekanan air sangat tinggi. Sebanyak 12 negara di antaranya di Timur Tengah.

Qatar ditemukan sebagai yang paling tertekan. Artinya pertanian, industri, dan kota menggunakan hingga 80 persen dari permukaan dan air tanah yang tersedia dalam satu tahun rata-rata, membuat pasokan sangat rentan terhadap kekurangan. Kondisi serupa pun terjadi di Israel, Libanon, Iran, dan Yordania. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement