REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Milisi yang didukung Iran menarik diri dari kompleks Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Baghdad, Irak pada Rabu (1/1). Meski bentrokan telah berakhir, ketegangan AS-Iran tetap tinggi dan dikhawatirkan dapat meluas menjadi kekerasan lebih lanjut.
Penarikan diri itu mengikuti seruan dari pemerintah dan para pemimpin senior milisi. Anjuran itu pun mengakhiri krisis dua hari yang ditandai dengan pelanggaran misi diplomatik AS terbesar dan salah satu yang paling dijaga ketat di dunia.
"Setelah mencapai tujuan yang dimaksud, kami keluar dari tempat ini dengan penuh kemenangan," kata seorang pendukung milisi Fadhil al-Gezzi.
Gezzi menilai, tanggapan AS terhadap demonstrasi yang dilakukan menunjukan kemenangan bagi mereka. Serangan yang dilakukan mendorong Pentagon untuk mengirim ratusan pasukan tambahan ke Timur Tengah dan Menteri Dalam Negeri AS Mike Pompeo menunda perjalanan Eropa dan Asia Tengah.
"Sebaliknya, ini menunjukkan kekalahan psikologis dan gangguan mental besar yang diderita pemerintah Amerika," kata juru bicara Kataeb Hizbollah Mohammed Mohy, sebelum menarik diri dari daerah tersebut.
Sebelum penarikan diri, ratusan anggota milisi dan pendukung masuk ke kompleks kedutaan. Mereka menghancurkan area penerimaan, menghancurkan jendela, dan menyemprotkan grafiti di dinding.
Para pengunjuk rasa pun mendirikan sebuah tenda. Mereka membakar area penerimaan dan melemparkan batu ke Marinir AS yang menjaga kompleks, yang merespons dengan gas air mata. Tidak ada yang cedera di kedua sisi dan tidak ada staf AS yang dievakuasi dari kompleks.
Demonstrasi yang berujung kekerasan itu dilakukan untuk memprotes serangan udara AS terhadap milisi yang didukung Iran pada akhir pekan. Serangan tersebut menewaskan 25 orang. Sedangkan AS menyalahkan milisi atas serangan roket ke pangkalan militer Irak di kota utara Kirkuk pekan lalu yang menewaskan seorang kontraktor AS.