Kamis 02 Jan 2020 14:40 WIB

Trump: Saya tak Ingin Perang dengan Iran

Trump sempat ancam Iran agar bertanggung jawab atas demonstrasi ricuh di Baghdad.

Pejuang milisi Kataib Hezbollah memeriksa reruntuhan markas yang hantam rudal AS, Qaim, Irak, Senin (30/12)
Foto: AP Photo
Pejuang milisi Kataib Hezbollah memeriksa reruntuhan markas yang hantam rudal AS, Qaim, Irak, Senin (30/12)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatkaan tak ingin ataupun memprediksi perang dengan Iran. Sebelumnya, dia memang mengancam akan membalas Iran menyusul aksi demonstrasi keras yang diduga dipimpin oleh milisi Iran di Kedutaan Besar AS di Baghdad.

"Apakah saya mau (berperang--Red)? Tidak, saya ingin damai. Saya suka kedamaian. Iran seharusnya juga menginginkan kedaiaman lebih dari siapa pun," ujar Trump kepada wartawan di Mar-a-Lago, Florida dikutip Reuters, Rabu (1/1).

Baca Juga

Sebelumnya, Trump mengatakan, Iran akan bertanggung jawab atas nyawa yang hilang dalam serangan terhadap setiap fasilitas AS di mana pun. "Iran akan bertanggung jawab penuh atas nyawa yang hilang atau kerusakan yang terjadi di salah fasilitas milik kami. Mereka akan membayar harga yang sangat besar! Ini bukan peringatan, ini adalah ancaman," cuit Trump di Twitter.

Cuitan Trump itu muncul beberapa jam setelah pengunjuk rasa di Irak marah atas serangan udara AS di Irak yang menargetkan Kataib Hezbollah. Para pendemo melemparkan batu dan membakar pos keamanan Kedutaan Besar AS di Baghdad, Irak.

"Kedutaan Besar AS di Irak dalam beberapa jam ini aman. Banyak petugas bersama dengan peralatan militer paling mematikan di dunia segera dilarikan ke lokasi," kata Trump.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan, serangan terhadap Kedubes AS di Irak diorganisasi oleh para teroris. "Serangan Kedubes AS dirancang oleh teroris Abu Mahdi al-Muhandis dan Qays al-Khazali. Mereka bersekongkol dengan perwakilan Iran Hadi al-Amari dan Faleh al-Fayyadh," tulis Pompeo melalui Twitter resminya yang dikutip al-Arabiya, Rabu (1/1).

Gedung Putih dalam pernyataannya menyapaikan, Trump telah menelepon Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi. "Presiden Trump menekankan perlunya melindungi personel dan fasilitas Amerika Serikat di Irak," ungkap pernyataan Gedung Putih.

Pompeo dalam wawancara eksklusif dengan CBS News mengatakan, pejabat AS tidak pernah mempertimbangakan untuk mengevakuasi keduataan. "Kami mengingatkan Irak sepanjang hari tentang tanggung jawab mereka," kata Pompeo.

Sebelumnya, militer AS melakukan serangan udara di Irak dan Suriah, Ahad (29/12) waktu setempat. Serangan tersebut ditunjukkan terhadap kelompok milisi Kataib Hezbollah sebagai belasan atas serangan roket yang menewaskan kontraktor sipil AS di pangkalan militer di Irak.

Serangan tidak biasa terhadap misi diplomatik AS ini memperlihatkan tajamnya konflik proksi antara AS dan Iran. Kedua negara itu memiliki pengaruh yang kuat di Irak. Saat ini hubungan AS dan Iran berada di titik terendah dalam beberapa tahun terakhir.

Atas dasar respons serangan udara AS ini, kemudian pendemo menyerbu Kedubes AS di Baghdad, Irak. Unjuk rasa pun berakhir ricuh. Pengunjuk rasa melemparkan batu dan membakar pos keamanan Kedutaan Besar AS di Baghdad.

Hampir setiap harinya Irak dipenuhi ribuan orang yang turun ke jalan untuk mengutuk antara lain para milisi seperti Kataib Hezbollah dan Iran yang mendukung pemerintahan Abdul Mahdi. Kataib Hezbollah adalah salah satu milisi yang paling kecil tetapi paling kuat yang didukung Iran. Benderanya digantung di pagar yang mengelilingi kedutaan.

Kendati demikian, Iran yang kini masih berada di bawah tekanan ekonomi karena sanksi AS membantah bertanggung jawab atas insiden ini. "Amerika memiliki keberanian mengejutkan yang menghubungkan Iran dengan protes rakyat Irak terhadap (Washington) atas pembunuhan paling tidak manusiawi terhadap 25 warga Irak," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Abbas Mousavi.

Insiden kedutaan itu terjadi tujuh tahun setelah serangan 2012 oleh gerilyawan bersenjata di markas diplomatik AS di Benghazi, Libya. Insiden ini mengakibatkan kematian duta besar AS dan tiga orang Amerika lainnya hingga menyebabkan berbagai penyelidikan kongres. N fergi nadira/reuters ed: fuji pratiwi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement