REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengingatkan Presiden Turki Tayyip Erdogan untuk tidak mengganggu kondisi di Libya. Pernyataan itu muncul setelah Parlemen Turki menyetujui Rancangan Undang-Undang yang bisa mengerahkan pasukan ke Libya, Kamis (2/1).
Setelah pengumuman itu, Trump melakukan panggilan telepon langsung kepada Erdogan. Dia memperingatkan Endorgan terhadap gangguan apa pun di Libya. "Menunjukkan bahwa campur tangan asing mempersulit situasi di Libya," kata juru bicara Gedung Putih Hogan Gidley dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Aljazirah.
Erdogan mengatakan pekan lalu, Turki akan mengerahkan pasukan di Libya untuk mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Fayez al-Serraj yang diakui secara internasional. GNA bulan lalu meminta dukungan Ankara karena menangkis serangan pasukan Jenderal Khalifa Haftar, yang didukung oleh Rusia, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Yordania.
Langkah Turki datang setelah Ankara dan GNA menandatangani dua perjanjian terpisah pada November. Perjanjian itu tentang kerja sama keamanan dan militer serta perjanjian mengenai batas-batas laut di Mediterania timur, yang membuat marah Yunani, Israel, Mesir, dan Siprus.
Juru bicara Erdogan Ibrahim Kalin mengatakan, RUU yang baru disahkan itu merupakan langkah penting untuk melindungi kepentingan Ankara di Afrika Utara dan Mediterania. Dengan kejelasan peraturan itu akan bisa mendukung untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di Libya.
Menteri Dalam Negeri GNA Fathi Bashagha mengatakan, Tripoli telah meminta dukungan Turki menyusul eskalasi berbahaya dalam konflik oleh pasukan Haftar. "Sebagai satu-satunya pemerintah Libya yang sah dan berdaulat, GNA adalah entitas tunggal dengan hak untuk memformalkan aliansi militer yang diperlukan untuk melindungi negara kita," kata Bashagha.
Analis dan beberapa pejabat mengatakan, Ankara tidak mungkin segera mengerahkan pasukan. Ankara akan mengirim penasihat militer dan peralatan terlebih dahulu.
"Harapannya adalah agar militer Turki tidak terlibat dalam aksi militer sendiri," kata mantan diplomat Turki yang merupakan ketua Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Luar Negeri Sinan Ulgen.