REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap negara memiliki organisasi militer yang bertugas menjaga pertahanan dan keamanan negara. Demikian pula di Iran, mereka memiliki pasukan elite Korps Garda Revolusi Islam (Islamic Revolutionary Guard Corps/IRGC) Iran.
Tahun lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melabeli IRGC sebagai organisasi teroris asing. Pelabelan ini merupakan langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya yang menandai AS secara resmi menamakan teroris terhadap militer negara lain. Para ahli mengatakan, keputusan itu kemungkinan akan meningkatkan ketegangan hubungan antara kedua negara.
Lantas, apa itu IRGC? Korps Garda Revolusi Iran yang dikenal sebagai Pasdaran, didirikan pada April 1979. Elite militer ini didirikan tidak lama setelah terjadinya Revolusi Islam dan penggulingan atas raja pro-Barat Iran, Mohammad Reza Shah Pahlavi.
Sebagaimana diamanatkan oleh Pemimpin Tertinggi Ayatollah Khomeini, IRGC memiliki tugas utama melindungi sistem Islam dan nilai-nilai revolusioner negara tersebut. Seperti dilansir di VOA News, Sabtu (4/1), IRGC saat ini telah berperan menjadi pemain militer, politik, dan ekonomi utama di Iran.
Korps militer ini memiliki 150 ribu pasukan, yang terdiri dari pasukan darat, angkatan laut, dan unit udara. Organisasi ini juga bertanggung jawab atas rudal balistik dan program nuklir Iran.
Pasukan Garda Revolusi Iran.
Secara organisasi, IRGC berada di bawah Staf Umum Angkatan Bersenjata Gabungan sebagai bagian dari Kementerian Pertahanan. Akan tetapi, menurut organisasi kebijakan internasional Counter Extremism Project, militer ini tetap berada di bawah Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei, dengan otoritas sipil terpilih tidak memiliki kendali nyata.
Secara internal, IRGC juga memimpin Basij Resistance Force, sebuah kelompok relawan religius yang menyalurkan dukungan rakyat kepada rezim dan menekan perbedaan pendapat domestik. Pasukan paramiliter ini memantau kepatuhan terhadap adat istiadat ketat negara itu, seperti menangkap wanita yang melanggar kode pakaian publik di bawah peraturan rezim dan mengejar pihak-pihak yang bergaya Barat di mana alkohol disajikan.
Secara eksternal, IRGC menggunakan pasukan bayangannya, Pasukan Quds, untuk memperluas pengaruhnya di Timur Tengah dan sekitarnya. Pasukan Quds ini dipimpin oleh Mayjen Qassem Soleimani dan proksi milisi Syiah seperti Hizbullah Lebanon.
Pasukan Quds dibentuk selama Perang Iran-Irak pada 1980. Elite pasukan ini telah memiliki sekitar 15 ribu personel. Kelompok ini telah terlibat dalam konflik Timur Tengah selama beberapa dekade baik secara langsung maupun dengan memberikan dukungan kepada milisi dan pemerintah pro-Iran, khususnya di Lebanon, Suriah, Irak, Yaman, Palestina dan Afghanistan.
Jenderal Qassem Soleimani (tengah).
Baru-baru ini, Pasukan Quds begitu berperan bagi perang saudara Suriah dengan mendukung Presiden Bashar al-Assad melawan pemberontak. Di Irak, kelompok itu memainkan peran penting membantu pemerintah yang didominasi Syiah dalam perang melawan kelompok ISIS dan menggagalkan upaya Kurdi mencari kemerdekaan.
Pasukan Quds juga dianggap sebagai sumber kehidupan pemberontak Houthi dalam perjuangan mereka melawan pemerintah yang diakui secara internasional di Yaman. AS menetapkan Pasukan Quds sebagai pendukung terorisme pada 2007. Langkah ini kemudian diikuti oleh Kanada pada 2012.
Sementara Arab Saudi dan Bahrain, dua saingan utama yang bertetangga dengan Iran, menetapkan IRGC sebagai entitas teror pada 2018. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa menahan diri untuk tidak menunjuk IRGC sebagai entitas teror. Akan tetapi, mereka telah memasukkan individu-individu utama dari pasukan tersebut ke dalam daftar hitam, termasuk pemimpinnya Qassem Soleimani.