REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Pemerintah Malaysia merespons eskalasi situasi yang terjadi di Irak setelah serangan Bandara Internasional Baghdad oleh Amerika Serikat (AS). Ia mendesak semua menahan diri dan menghindari provokasi lebih lanjut.
"Malaysia sangat prihatin dengan situasi terakhir menyusul serangan udara AS di dekat Bandara Internasional Baghdad pada hari Jumat (3/1)," kata Kementerian Luar Negeri Malaysia dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (4/1).
Malaysia menilai semua upaya harus ditempuh untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik. Hal itu mesti dilakukan dengan cara-cara damai tanpa disertai ancaman atau pengerahan kekuatan.
Pada Jumat pagi, AS melancarkan serangan rudal ke Bandara Internasional Baghdad. Washington membidik konvoi kendaraan Popular Mobilization Forces (PMF), pasukan paramiliter Irak yang memiliki hubungan dekat dengan Iran. Beberapa jam pasca-peristiwa itu, Garda Revolusi Iran mengumumkan bahwa Komandan Pasukan Quds Mayor Jenderal Qasem Soleimani tewas akibat serangan AS.
Serangan tersebut diperintahkan langsung oleh Presiden AS Donald Trump. Pentagon menuding Soleimani berencana melakukan serangan terhadap diplomat dan anggota layanan AS di Irak dan kawasan sekitarnya.
Pasukan Quds diketahui merupakan sebuah divisi atau sayap Garda Revolusi Iran yang bertanggung jawab untuk operasi ekstrateritorial. Soleimani selaku komandannya telah bertahun-tahun dipandang sebagai arsitek yang berperan menyebarkan pengaruh Iran di Timur Tengah.
Tewasnya Soleimani kian meningkatkan ketegangan antara AS dan Iran. AS telah memerintahkan semua warganya untuk segera meninggalkan Irak.
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei telah mengutuk serangan AS. Dia menyatakan akan melakukan aksi balasan.
Tak hanya Iran, Suriah dan Irak turut mengutuk serangan udara AS. Suriah, melalui kantor berita negaranya, Syrian Arab News Agency (SANA), menyebut agresi AS ke Bandara Internasional Baghdad adalah tindakan kriminal yang berbahaya.
Presiden Irak Barham Salih berpendapat serupa. Namun, dia mendesak semua pihak menahan diri. "Irak harus mengutamakan kepentingan nasionalnya dan menghindari tragedi konflik bersenjata yang telah mengganggunnya selama empat dekade," kata Salih.