Sabtu 04 Jan 2020 17:58 WIB

Klaim atas Natuna Dinilai Buka Peluang ASEAN Kontra China

ASEAN dinilai harus bersikap kompak menyikapi pelanggaran China.

Rep: Mabruroh/ Red: Nur Aini
KRI Teuku Umar-385 melakukan peran muka belakang usai mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (3/1/2020).
Foto: M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO
KRI Teuku Umar-385 melakukan peran muka belakang usai mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (3/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Politik Internasional, Arya Sandiyudha menilai klaim China atas laut Natuna dapat membuka peluang sikap kontra mayoritas negara-negara ASEAN terhadap China. Hal itu karena selama ini Indonesia dianggap tidak pernah memiliki sengketa klaim dengan China. 

Arya menuturkan, pengusiran nelayan Indonesia oleh kapal coast guard China di perairan Natuna, masuk dalam kategori isu kedaulatan. Oleh karenanya, kata Arya, Indonesia dapat menggunakan prinsip dalil Filipina yang dibela oleh Keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) di Den Haag, Belanda, pada 2016 lalu. 

Baca Juga

Dalam putusannya, kata Arya, Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) menyatakan China telah melanggar kedaulatan di Laut China Selatan (LCS). Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) memenangkan Filipina atas klaim hak sejarah 9 garis China di Laut Barat Filipina, dengan argumentasi tak berdasar hukum internasional dan tidak sejalan dengan UNCLOS yaitu Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE).

"Hal yang berlaku bagi Filipina juga dapat digunakan Indonesia. Sekaligus sadarkan ASEAN, mesti solid agar tidak berpeluang diperlakukan semena-mena oleh China,” kata Arya yang juga Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI), Sabtu (4/1).

Arya menuturkan apa yang dilakukan China terhadap Filipina dengan reklamasi China yang telah menabrak hak Filipina dan merusak laut LCS yang dilindungi UNCLOS berpotensi juga terjadi pada Natuna, di Indonesia. Setidaknya kata dia, ada enam senjata Indonesia untuk membangun soliditas ASEAN terkait laut China selatan.

Pertama, nonclaimant state dan claimant state dapat bersatu untuk menentang klaim hak sejarah sembilan garis China. Kedua, China tidak berhak klaim kedaulatan wilayah negara ASEAN, karena secara Yuridiksi melawan UNCLOS.

“Klaim sembilan garis tidak bisa jadi dasar hak atas kepulauan manapun dari negara ASEAN, karena kepulauan palsu yang dibangun China merupakan low-tide elevations yang tidak memiliki hak zona maritim tersendiri,” ujar Doktor Bidang Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Turki ini.

“Mayoritas daratan baru yang dibangun China tidak punya hak wilayah maritim, ” ujarnya.

Ketiga, China juga bukan negara kepulauan, sehingga menurutnya tidak dapat menggunakan garis dari landas kepulauan yang ada di LCS.

Keempat, tidak satu pun dari High Tide Features di kepulauan buatan China, merupakan pulau yang memiliki hak wilayah maritim tersendiri, karena bukan tempat tinggal manusia atau tempat penghidupan ekonomi tersendiri. Oleh karena itu, fitur tersebut secara hukum dilihat sebagai bebatuan dan tidak berhak atas ZEE atau landas kontinen tersendiri,

“Kelima, persahabatan China - ASEAN akan rusak apabila klaim hak ini diteruskan China dengan terus memaksakan propaganda dan menggunakan paksaan diplomatik,” ungkapnya.

Keenam, operasi pengawasan laut China di LCS juga melanggar UNCLOS tentang hak-hak berdaulat negara-negara ASEAN atas sumber daya non-hayati dilandas kontinennya. 

“Jangan hanya dilihat pembelaan komunitas internasional terhadap kasus Filipina, tapi pada prinsipnya berlaku untuk semua negara ASEAN yang dilabrak kedaulatannya oleh China di LCS. Termasuk Indonesia, terkait Natuna, ASEAN mesti kompak bersikap,” ucap Arya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement