Ahad 05 Jan 2020 06:24 WIB

Bunuh Jenderal Iran, AS Dianggap Langgar Hukum Internasional

Tindakan AS penuh konsekuensi serius bagi perdamaian dan keamanan di Timur Tengah.

Serangan AS di Bandara Internasional Baghdad, Irak pada Jumat (3/1). Usai serangan di Bandara Baghdad, Kedubes AS minta warga AS segera tinggalkan Irak.
Foto: EPA
Serangan AS di Bandara Internasional Baghdad, Irak pada Jumat (3/1). Usai serangan di Bandara Baghdad, Kedubes AS minta warga AS segera tinggalkan Irak.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan, pembunuhan Komandan Pasukan Quds Mayor Jenderal Qasem Soleimani oleh Amerika Serikat (AS) melanggar norma hukum internasional. Hal itu dia sampaikan saat melakukan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada Jumat (3/1).

"Lavrov menekankan bahwa tindakan sengaja dari negara anggota PBB untuk melenyapkan pejabat negara anggota PBB lainnya, terutama di wilayah negara berdaulat ketiga tanpa memberikan pemberitahuan sebelumnya, secara terang-terangan melanggar prinsip hukum internasional dan harus dikutuk," kata Kementerian Luar Negeri Rusia dalam keterangan persnya, seperti dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.

Baca Juga

Menurut Lavrov, tindakan AS penuh konsekuensi serius bagi perdamaian dan keamanan di kawasan. Bahkan, langkh itu tak membantu upaya menemukan solusi bagi permasalahan di Timur Tengah. "Sebaliknya, tindakan AS mengarah ke gelombang eskalasi baru. Moskow mendesak Washington untuk meninggalkan taktik paksa yang melanggar hukum untuk mencapai tujuannya di arena internasional dan menyelesaikan masalah di meja perundingan," ujarnya.

Soleimani tewas saat AS melancarkan serangan udara ke Bandara Internasional Baghdad, Irak, pada Jumat pagi. Washington membidik konvoi Popular Mobilization Forces (PMF), pasukan paramiliter Irak yang memiliki hubungan dekat dengan Iran. Itu merupakan serangan besar pertama AS terhadap kelompok yang terafiliasi atau terkait dengan Iran sejak menarik pasukannya dari Irak pada 2011.

Perintah untuk mengeksekusi tindakan tersebut datang langsung dari Presiden AS Donald Trump. Dia menyebut Soleimani telah merencanakan serangan yang mengancam para diplomat dan personel militer AS di Irak serta kawasan sekitarnya. "Tapi kami menyergapnya dalam serangan dan menghentikannya," ujar Trump.

Trump menampik bahwa AS sedang berupaya memulai peperangan. "Kami mengambil tindakan semalam untuk menghentikan perang. Kami tidak mengambil tindakan untuk memulai perang," kata dia seraya menambahkan bahwa AS tak mencari perubahan rezim di Iran.

"Militer AS melakukan serangan presisi tanpa cacat yang menewaskan teroris nomor satu di mana saja di dunia, Qassem Soleimani. Apa yang dilakukan AS kemarin seharusnya sudah dilakukan sejak lama. Banyak nyawa akan diselamatkan," kata Trump di resornya di Florida.

AS mencari pembenaran atas pembunuhan Soleimani berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB. Pasal ini mencakup hak individu atau bersama untuk membela diri terhadap serangan bersenjata. Menurut Pasal 51, negara-negara harus "segera melaporkan" kepada Dewan Keamanan beranggotakan 15 negara atas setiap langkah yang ditempuh dalam menjalankan hak membela diri. AS menggunakan Pasal 51 untuk membenarkan aksi yang diambil di Suriah terhadap ISIS pada 2014.

Soleimani merupakan tokoh militer Iran yang memiliki pengaruh besar di kawasan Timur Tengah. Ia dipercaya memimpin Pasukan Quds, sebuah divisi atau sayap dari Garda Revolusi Iran yang bertanggung jawab untuk operasi ekstrateritorial, termasuk kontraintelijen di kawasan.

Soleimani disebut sebagai "otak" pembentukan paramiliter yang membidik Israel dan kepentingan AS di seluruh Timur Tengah. Munculnya kelompok Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman diyakini berkat peran Soleimani.

Dia sangat dipuja di Iran. Soleimani dianggap tokoh terkuat setelah pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei. Kendati demikian, kesetiaan dan loyalitasnya terhadap Khamenei tak pernah diragukan. Khamenei pun telah mengutuk serangan AS yang menewaskan Soleimani. Dia menyatakan akan mengambil aksi balasan.

Duta Besar Iran untuk PBB Majid Takht Ravanchi menyebut pembunuhan Soleimani oleh AS menjadi hal nyata untuk memulai perang. Dia juga menyebut, "Balasan terhadap aksi militer adalah aksi militer," pada Jumat.

Saat wawancara dengan CNN, Ravanchi menyebutkan, bahwa dengan "pembunuhan" Soleimani, AS memasuki tahap baru setelah memulai "perang ekonomi" dengan memberlakukan sanksi ketat terhadap Iran pada 2018. "Jadi, itu merupakan ... babak baru yang sama saja memulai perang melawan Iran," kata Ravanchi.

Dia menyebut akan ada aksi balasan yang kejam. Pada Jumat, duta besar itu mengatakan kepada Dewan Keamanan dan Sekjen PBB Antonio Guterres bahwa Iran berhak membela diri di bawah hukum internasional.

Melalui surat, Ravanchi menyebut pembunuhan Soleimani sebagai contoh nyata terorisme negara dan tindakan kriminal. Tindakan itu juga merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip dasar hukum internasional, khususnya Piagam PBB.

Sementara, Otoritas Inggris memperingatkan warga negaranya untuk menghindari semua perjalanan ke Irak di luar kawasan Kurdistan. Otoritas juga meminta agar tidak melakukan perjalanan ke Iran kecuali penting setelah kematian Soleimani.

"Mengingat memanasnya kondisi di kawasan tersebut, Kantor Luar Negeri kini mengimbau masyarakat agar tidak bepergian ke Irak. Dengan pengecualian kawasan Kurdistan, Irak, dan agar mempertimbangkan kembali secara saksama apakah penting untuk melakukan perjalanan ke Iran," demikian ujar Menteri Luar Negeri Dominic Raab melalui pernyataan. "Kami akan terus memantau ini". n Kamran Dikarmareuters/antara ed: mansyur faqih

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement