Parlemen Irak telah memilih untuk mengusir pasukan Amerika Serikat (AS) dari negaranya. Dalam sebuah sidang luar biasa yang digelar Minggu (05/01), para anggota parlemen mendukung resolusi untuk meminta pemerintah Irak mengakhiri perjanjian dengan AS yang menempatkan 5.200 tentaranya di Irak.
Resolusi ini secara khusus menyerukan untuk mengakhiri perjanjian 2014 silam yang mengizinkan AS mengirim pasukan ke Irak untuk membantu memerangi kelompok ISIS.
"Pemerintah (Irak) berkomitmen untuk mencabut permintaan bantuan dari koalisi internasional dalam memerangi ISIS, atas berakhirnya operasi militer di Irak dan tercapainya kemenangan," demikian bunyi resolusi tersebut.
"Pemerintah Irak harus bekerja untuk mengakhiri keberadaan pasukan asing di tanah Irak dan melarang mereka menggunakan daratan, wilayah udara atau perairan dengan alasan apa pun."
AS merespon cepat kesepakatan itu dan menyatakan kekecewaannya.
"Kami sangat mendesak para pemimpin Irak untuk mempertimbangkan kembali pentingnya hubungan ekonomi dan keamanan yang sedang berlangsung antara kedua negara dan keberlanjutan keberadaan Koalisi Global untuk Mengalahkan ISIS," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS.
"Kami percaya ini adalah kepentingan bersama Amerika Serikat dan Irak untuk terus bersama memerangi ISIS," dan bahwa AS masih "berkomitmen untuk Irak yang berdaulat, stabil, dan makmur."
Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberikan sanksi yang melemahkan kepada Irak, jika mereka memaksa pasukan AS untuk pergi.
Baca juga:Letih dengan Perang dan Kebrutalan, Etnis Kurdi di Irak Kembali Peluk Ajaran Zoroaster
Hormati Irak
Keputusan untuk mengusir pasukan AS dari Irak juga didukung perwakilan dari negara-negala lain, salah satunya Jerman. Menteri Luar Negeri Heiko Maas menyatakan keprihatinannya atas meningkatnya ketegangan di Timur Tengah, tetapi ia juga menegaskan bahwa posisi pemerintah Irak harus dihormati.
"Kepentingan utama kami adalah stabilitas dan persatuan di Irak tidak menjadi korban dari eskalasi baru-baru ini," tegas Maas, Minggu (06/01) malam. Selain itu Maas juga mengomentari keputusan pemerintah Irak.
"Kami akan menghormati setiap keputusan," tambahnya.
Pemerintah Jerman mengatakan pada Minggu (5/1) malam, bahwa tentaranya akan tetap berada di Irak, jika pemerintah Irak menginginkan itu.
Perdana Menteri sementara Irak, Adel Abdul-Mahdi mengatakan para pejabat sedang mempersiapkan rancangan untuk langkah-langkah hukum dan prosedural untuk mengimplementasikan resolusi parlemen. Dia juga mengatakan bahwa jika pasukan AS tetap berada di Irak, maka mereka akan dianggap menduduki Irak secara paksa.
"Terlepas dari kesulitan internal dan eksternal yang mungkin kita hadapi, ini tetap yang terbaik untuk Irak secara prinsip dan praktis," katanya kepada parlemen.
Selain itu, pemerintah Jerman mengatakan bahwa pasukan mereka akan tetap berada di Irak jika irak memang menginginkan demikian.
Tidak mengikat
Resolusi ini tidak mengikat pemerintah, tetapi dengan adanya dukungan dari Abdul-Mahdi, pemerintah diyakini akan mendukung keputusan tersebut.
Resolusi ini disahkan dua hari setelah pembunuhan Mayor Jenderal Iran Qassem Soleimani, yang tewas oleh serangan udara AS di Baghdad, Irak.
Ulama Syiah Irak, Moqtada al-Sadr, meminta respon yang lebih substansial terhadap aksi penyerangan itu.
"Saya menganggap ini sebagai respons yang lemah, tidak cukup untuk melawan Amerika terhadap kedaulatan Irak dan eskalasi regional," terang al-Sadr, yang memimpin kelompok mayoritas di parlemen, dalam pernyataan tertulisnya yang dibacakan salah seorang anggota parlemen kepada majelis sidang.
Irak panggil utusan AS dan melapor ke PBB
Dilansir dari Reuters, Perdana Menteri Abdul-Mahdi juga mengatakan kepada parlemen bahwa Komandan Pasukan Elite Garda Revolusi Iran, Jenderal Qassem Soleimani dijadwalkan akan bertemu dengannya di hari ia terbunuh dan menyampaikan respon masyarakat Iran terkait pesan dari pemerintah Arab Saudi untuk menurunkan tensi ketegangan di wilayah tersebut.
Para pejabat Irak juga memanggil utusan AS untuk Irak, Matthew Tueller, atas serangan udara tersebut.
"(Serangan udara) itu merupakan pelanggaran terang-terangan atas kedaulatan Irak," terang Kementerian Luar Negeri Irak dalam pernyataan resminya hari Minggu (05/01). Mereka (AS) dianggap "bertentangan dengan kesepakatan koalisi internasional."
Kementerian Luar Negeri Irak juga telah mengajukan keluhan resmi kepada Sekretaris Jenderal PBB dan Dewan Keamanan PBB terkait serangan udara AS.
Isinya yakni menyebutkan "serangan dan agresi Amerika terhadap posisi militer Irak dan pembunuhan komandan militer tingkat tinggi sekaligus sekutu irak di tanah Irak."
Pada Minggu (06/01), setidaknya terdapat tiga ledakan di ibu kota Irak. Sirine peringatan pun bergema hinaga terdengar di Sungai Tigris.
Ledakan itu diprediksi berasal dari mortir atau roket yang jatuh di dalam, atau di dekat Zona Hijau, dimana terdapat Kedutaan Besar AS untuk Irak, kantor diplomatik asing lain, serta pusat pemerintahan Irak.
Dilaporkan tidak ada korban jiwa setelah datangnya serangan kedua dalam 48 jam terakhir.
Baca juga:Pengunjuk Rasa Irak Serbu Kedubes AS di Baghdad, Dubes Dievakuasi
rap/pkp (Reuters, AP, AFP, dpa)