Senin 06 Jan 2020 23:20 WIB

Turki Mulai Kerahkan Pasukan ke Libya

Erdogan menegaskan pengerahan pasukan Turki ke Libya bukan untuk bertempur.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Yudha Manggala P Putra
Peta Benghazi, Libya.
Foto: Aljazeera
Peta Benghazi, Libya.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan telah mulai mengerahkan pasukan militernya ke Libya. Mereka mengemban misi untuk mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional atau Government of National Accord (GNA) yang diakui secara internasional.

Hal tersebut diumumkan Erdogan setelah parlemen Turki menyetujui pengambilan langkah demikian pada Ahad (5/1). "Akan ada pusat operasi (di Libya). Akan ada letnan jenderal Turki yang memimpin dan mereka akan mengelola situasi di sana. (Tentara Turki) secara bertahap pindah ke sana sekarang," ujar Erdogan, dikutip laman Aljazirah.

Kendati demikian, Erdogan menyebut tak akan mengerahkan pasukan tempur Turki. "Saat ini kita memiliki unit yang berbeda yang bertugas sebagai pasukan tempur," kata dia.

Sebab Erdogan menegaskan pengerahan pasukan Turki ke Libya memang bukan untuk bertempur. Mereka bertugas mendukung pemerintah yang sah dan menghindari tragedi kemanusiaan," ucapnya.

Pasukan Turki nantinya akan menjalin koordinasi di Libya. "Mereka akan mengembangkan pusat operasi di sana. Tentara kita secara bertahap pergi sekarang," kata Erdogan.

Saat ini Libya memang terpecah menjadi dua kubu, yakni GNA yang dipimpin Fayez al-Sarraj dan pasukan pimpinan Jenderal Khalifa Haftar. Selama beberapa bulan terakhir, pasukan Khalifa Haftar menggempur basis GNA di Tripoli.

GNA kemudian meminta bantuan pada Turki. Pada akhir November 2018, GNA dan Turki menandatangani perjanjian keamanan dan maritim. Hal itu membuka jalan bagi penempatan pasukan Turki di Libya.

Pekan lalu parlemen Turki mengesahkan mosi yang memungkinkan pengerahan pasukan le Libya selama satu tahun. Mereka akan menanggapi ancaman dari kelompok bersenjata tidak sah dan kelompok teror lain yang menargetkan kepentingan nasional kedua negara.

Resolusi tersebut juga bertujuan memberikan keamanan di Libya dalam menghadapi kemungkinan migrasi massal. Selain itu, membuka akses dan menyerahkan bantuan kemanusiaan.

Libya telah dilanda krisis sejak 2011, yakni ketika pemberontakan yang didukung NATO melengserkan mantan presiden Muammar Qadafi. Dia telah memimpin negara tersebut lebih dari empat dekade. Qadafi pun meninggal setelah digulingkan.

Sejak saat itu, kekuasaan politik Libya terpecah dua. Basis pertama memusatkan diri di Libya timur dengan pemimpinnya Khalifa Haftar. Sementara basis yang didukung PBB berada di Tripoli. Pertempuran antara kedua kubu telah menyebabkan ratusan orang tewas dan ribuan luka-luka.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement