REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Pemerintah Israel enggan berspekulasi tentang apakah saat ini Iran sedang berusaha mengembangkan senjata nuklir. Ia menilai terlalu dini untuk menentukan hal tersebut.
"Masih terlalu dini untuk mengatakan (apakah Iran mengembangkan senjata nuklir). Kita harus menunggu dan melihat," ujar Menteri Energi Israel Yuval Steinitz saat diwawancara Israel Radio, Selasa (7/1).
Dia menegaskan kembali janji dan komitmen Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahwa Israel tidak akan penah membiarkan Iran memiliki senjata nuklir. Kendati demikian, Steinitz tampaknya berusaha menjauhkan Israel dari ketegangan yang saat ini membekap Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Amerika Serikat (AS).
"Kami berdiri di sela-sela, mengamati peristiwa," kata tokoh yang juga bertanggung jawab atas Komisi Energi Atom Israel tersebut.
Iran telah menyatakan tak lagi terikat pada komitmen-komitmen yang tertuang dalam perjanjian nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Hal itu mereka umumkan setelah AS membunuh Komandan Pasukan Quds Mayor Jenderal Qassem Soleimani di Bandara Internasional Baghdad, Irak, pada Jumat pekan lalu.
Soleimani merupakan tokoh militer Iran yang memiliki pengaruh besar di kawasan Timur Tengah. Ia dipercaya memimpin Pasukan Quds, sebuah divisi atau sayap dari Garda Revolusi Iran yang bertanggung jawab untuk operasi ekstrateritorial, termasuk kontra-intelijen di kawasan.
Kematian Soleimani kian meruncingkan hubungan Iran dan AS. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei telah menyatakan akan mengambil aksi balasan terhadap Washington.
Duta Besar Iran untuk PBB Majid Takht Ravanchi mengatakan pembunuhan Soleimani merupakan tindakan perang. Menurutnya, Iran layak melakukan aksi balasan.
Iran, kata dia, tak bisa menutup mata atas kejadian tersebut. "Pasti akan ada balas dendam, balas dendam yang keras. Respons terhadap aksi militer adalah aksi militer. Oleh siapa, kapan, di mana? Itu untuk masa depan untuk disaksikan," ujar Ravanchi.