REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemerintah Iran menyatakan siap bertahan dalam kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Sebelumnya, Iran sempat menyatakan tidak akan lagi terikat pada JCPOA setelah terbunuhnya Komandan Pasukan Quds Mayor Jenderal Qassem Soleimani.
"Langkah kelima pemulihan Iran mengurangi komitmen terhadap perjanjian nuklir Juli 2015 tidak berarti kesepakatan itu telah berakhir atau Iran ingin menarik diri darinya. Itu hanya berarti kami telah mencapai keseimbangan yang wajar di JCPOA," kata Wakil Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi pada Selasa (7/1), dikutip Anadolu Agency.
Dia mengatakan Iran tetap bisa bertahan dalam JCPOA. "Jika pihak lain tetap berkomitmen pada ketentuan-ketentuannya," ujar Araqchi.
Sejak serangan udara AS ke Bandara Internasional Baghdad dan menewaskan Qassem Soleimani, Iran menyatakan tak akan lagi terikat pada komitmen JCPOA. Hal itu merupakan isyarat Teheran akan melanjutkan aktivitas pengayaan uraniumnya.
Selama ini Eropa, termasuk AS, telah berusaha keras mencegah Iran mengembangkan dan memiliki senjata nuklir. Pada Juli lalu, Iran mengumumkan telah melakukan pengayaan uranium melampaui ketentuan yang ditetapkan JCPOA sebesar 3,67 persen. Teheran mengklaim saat ini pengayaan uraniumnya telah mencapai lebih dari 4,5 persen
Iran mengatakan level pengayaan itu memang masih sangat jauh dari yang dibutuhkan untuk memproduksi senjata nuklir. Namun, ia siap melanjutkan aktivitas pengayaan uraniumnya jika perekonomiannya masih dijerat sanksi AS.
AS diketahui telah hengkang dari JCPOA pada Mei 2018. Setelah keluar, Presiden AS Donald Trump memutuskan menerapkan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Mundurnya AS membuat JCPOA goyah dan terancam bubar.