REPUBLIKA.CO.ID, DAKAR – Lebih dari 250 warga sipil dilaporkan telah dibunuh para ekstremis di Burkina Faso dalam waktu kurang dari setahun. Hal ini masuk dalam laporan yang diumumkan Human Rights Watch Senin (6/1) kemarin.
Lembaga swadaya masyarakat ini juga menyebut serangan yang dilakukan kelompok esktrem ini semakin meningkat. Kelompok-kelompok bersenjata mengambil alih lebih banyak wilayah di utara dan timur negara Afrika Barat tersebut.
Para saksi yang dimiliki kelompok hak asasi itu menyebut penyerang membenarkan serangan yang mereka lakukan dengan menghubungkan para korban dengan pemerintah, kelompok Barat atau kepercayaan Kristen.
"Kelompok-kelompok Islam bersenjata di Burkina Faso telah menyerang warga sipil dengan kejam tanpa batas dan sama sekali mengabaikan kehidupan manusia," kata Direktur Human Rights Watch, Corinne Dufka, dilansir di Daily Mail, Selasa (7/1).
Dia menyebut kelompok bersenjata ini sengaja menargetkan petani, pelaku agama, pekerja tambang, orang-orang terlantar, dan pedagang. Tindakan mereka bisa disebut sebagai kejahatan perang.
Setidaknya 20 serangan oleh kelompok-kelompok yang terkait dengan Alqaida seperti Ansarul Islam, atau kelompok Negara Islam telah terjadi sejak April 2019. Serangan ini menewaskan sedikitnya 256 orang dan seringkali belum mengklaim tanggung jawab.
PBB menyebut pada 2019 terjadi peningkatan rasa tidak aman yang dirasakan lebih dari setengah juta orang.
Dalam satu serangan besar, para ekstremis bisa menewaskan sedikitnya 35 warga sipil, kebanyakan wanita. Presiden Burkina Faso mengumumkan pada 24 Desember terjadi bentrokan berikutnya dengan pasukan keamanan dan menewaskan 80 ekstremis.
Serangan lain terjadi beberapa pekan sebelumnya terhadap konvoi yang membawa karyawan sebuah perusahaan pertambangan Kanada. Setidaknya 37 warga sipil terbunuh di bagian timur negara itu.
Kedua serangan itu dilakukan hampir 100 anggota ekstrem. Hal ini mengindikasikan keberadaan kelompok-kelompok ekstremis yang relatif besar dan terorganisir dengan baik.
Selama bertahun-tahun, Burkina Faso terhindar dari jenis ekstremisme Islam yang telah lama terlihat di seberang perbatasan di Mali. Diperlukan intervensi militer yang dipimpin Prancis pada 2013 untuk mengusir kelompok tersebut dari kekuasaannya di beberapa kota besar.
Hal tersebut pun berubah dengan sepasang serangan mematikan pada 2016 dan 2017 di ibukota, Ouagadougou. Masing-masing serangan menargetkan tempat-tempat yang populer di kalangan orang asing.
Serangan yang awalnya difokuskan di wilayah Sahel Utara kini terus menyebar. Perekrutan oleh kelompok-kelompok ekstremis difokuskan pada masyarakat nomaden Peul atau Fulani.
"Dengan mengeksploitasi keluhan masyarakat atas kemiskinan dan korupsi sektor publik, serangan ini telah meningkatkan ketegangan dengan komunitas agraris lainnya," kata Human Rights Watch.
Sementara itu militer Burkina Faso telah menerima pelatihan dari bekas penjajah Prancis dan Amerika Serikat. Militer dianggap gagal membendung gelombang kekerasan ekstremis.
"Kelompok-kelompok bersenjata Islam perlu segera mengakhiri serangan mereka terhadap warga sipil. Pada saat yang sama, pemerintah Burkina Faso harus mengambil langkah-langkah yang lebih kuat untuk melindungi masyarakat yang rentan dari bahaya dan menyelidiki secara tidak memihak dan secara tepat menuntut mereka yang terlibat dalam kejahatan perang," ujar Dufka.