Kamis 09 Jan 2020 00:17 WIB

Foto 'Hoax' dan 'Fake News' Kebakaran Hutan Australia Menyebar Luas di Sosmed

Topik kebakaran ini menarik banyak perhatian dari akun bot.

Red:
.
.

Bencana dan keadaan gawat darurat dari kebakaran hutan di Australia telah dieksploitasi para pengguna jejaring sosial.

Banyak informasi tidak akurat beredar di dunia maya, seperti di Twitter, Facebook, Instagram, hingga Whatsapp, soal kebakaran hutan yang sudah menelan korban jiwa setidaknya 25 orang.

Baca Juga

Foto-foto korban yang selamat dan peta daerah di Australia yang terbakar adalah contoh berita bohong yang paling banyak disebar, termasuk oleh selebriti internasional.

Di Twitter, informasi yang salah banyak didapatkan bila menelusuri hashtag #ArsonEmergency atau darurat pembakaran sengaja.

 

Dr. Timothy Graham dari Universitas Teknologi Queensland menganalisa 315 akun yang mengunggah postingan Twitter dengan tag #ArsonEmergency.

Ia menemukan sepertiga dari akun tersebut adalah akun bot dan memiliki pola yang tak aneh.

Menurut Dr. Timothy, topik kebakaran ini menarik banyak perhatian dari akun bot yang memberikan 'Like' atau komentar berisi penyerangan.

ABC menemukan kebanyakan dari akun yang mencurigakan telah menyebarkan berita yang berdasarkan asumsi.

Tak ada bukti bahwa arson atau pembakaran sengaja adalah penyebab dari kebakaran hutan di Australia.

Beberapa dari unggahan di Twitter menyalahgunakan data polisi dan menyebut ada 200 pelaku pembakaran sengaja yang telah ditangkap di New South Wales.

Padahal jumlah orang yang dituduh sengaja menyalakan api adalah 24 orang dan kebanyakan tidak berhasil.

Foto-foto dan video yang dipertanyakan

 

Sejumlah foto-foto dan video telah beredar untuk menunjukkan parahnya kebakaran hutan di Indonesia juga telah disebarkan, termasuk ke pengguna jejaring sosial di Indonesia.

Meski mungkin berniat baik untuk menarik simpati, tapi diantara foto-foto dan berita tersebut bukanlah berasal dari kebakaran yang sedang terjadi tahun ini.

Bahkan ada pula yang tidak berkaitan sama sekali, seperti foto macan yang seolah-olah terbakar, seperti yang ditemukan ABC Indonesia di salah satu akun influencer di Facebook.

Padahal foto tersebut pernah dimuat oleh harian asal Inggris Daily Mail dari laporannya di Jakarta tahun 2012, soal penyitaan dan pemusnahan bangkai-bangkai hewan langka yang telah diisi dan jadi hiasan di rumah.

 

Ada pula foto-foto lama yang ditayangkan ulang oleh sejumlah pihak, kemudian di-'screenshot' dan disebarkan lewat Whatsapp group.

Seperi foto satu keluarga ini, yang nampak sedang berlindung di permukaan air.

 

The Guardian memuat foto tersebut di tahun 2013, saat kebakaran melanda Tasmania, pulau paling bawah Australia.

Sejumlah influencer mengetahui jika ada yang salah dalam foto-foto mereka, tapi mereka dengan jelas mengatakan bahwa foto mereka memang telah melalui proses editing, seperti memakai program photoshop.

 

Namun ada pula yang tetap menggunakan, bahkan ikut menyebarkannnya.

Salah satunya adalah video perempuan yang sedang memeluk seekor kanguru, seolah menjadi korban kebakaran yang telah diselamatkan.

Padahal, ABC Indonesia menemukan video ini sebenarnya diambill dari pusat penangkaran kangguru di kawasan Austalia Utara, yang tak terkena dampak kebakaran sama sekali.

 

Pengguna harus bertanggung jawab

Meski ada banyak akun robot yang menyebarkan informasi salah soal kebakaran hutan, seorang konsultan politik mengatakan pengguna jejaring sosial sesungguhnya-lah yang harus bertanggung jawab dengan penyebarannya.

Dr. Andrea Carson, pakar bidang komunikasi politik di Universitas La Trobe di Melbourne, Australia mengatakan bahwa orang-orang seringkali emosi di tengah kondisi darurat, seperti kebakaran hutan.

Menurutnya, saat seperti ini yang menjadi waktu berbahaya untuk menyebarkan kebohongan online.

 

"Melihat kondisi sekarang, informasi salah ini dapat menyebar secepat kebakaran hutan itu sendiri," katanya.

Platform seperti Twitter dan Facebook kini menyediakan fasilitas bagi penggunanya untuk menandai unggahan yang kemungkinan isinya menyesatkan, atau berisi informasi salah.

Menurut saran ahli, pengguna media sosial sebaiknya membaca media terpercaya, memeriksa banyak sumber, dan tak berbagi konten yang tidak memiliki atribusi jelas.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement