Kamis 09 Jan 2020 06:12 WIB

Ribuan Siswa Suriah Mulai Belajar Bahasa Rusia

Sekolah-sekolah di Suriah kini memasukan bahasa Rusia ke dalam kurikulumnya.

Rep: Lintar Satria/ Red: Dwi Murdaningsih
Polisi militer Rusia memegang senjata di atas kendaraan lapis baja di Suriah Utara
Foto: Baderkhan Ahmad/AP
Polisi militer Rusia memegang senjata di atas kendaraan lapis baja di Suriah Utara

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Omar al-Tawil, siswa berusia 15 tahun asal Damaskus salah satu dari 25 ribu anak muda Suriah yang sedang belajar bahasa Rusia. Sekolah-sekolah di Suriah kini memasukan bahasa Rusia ke dalam kurikulumnya.

Rusia sekutu terkuat pemerintah Presiden Bashar al-Assad. Moskow masuk Suriah pada tahun 2015 untuk membantu Assad merebut kembali wilayahnya yang direbut oleh pemberontak.

Kini banyak anak muda Suriah yang ingin belajar bahasa Rusia. Harapannya agar mereka bisa pergi ke Rusia atau bekerja di perusahaan Rusia yang mereka harap akan datang ke Suriah.

"Pada awalnya kami tidak mengerti sama sekali dan ketika pertama kali mendengar kata-katanya kami tertawa, sulit, para guru membantu kami mencintai bahasa ini," kata Tawil, Rabu (8/1).

Koordinator bahasa Rusia di Kementerian Pendidikan Suriah Radwan Rahhal mengatakan permintaan kelas lebih besar dari pada pasokan. Saat ini, kata Rahhal, ada sekitar 24 ribu siswa yang belajar bahasa Rusia.

"Jumlahnya terus bertambah, tapi kami tidak bisa menambahnya lagi dalam waktu dekat kecuali kami memiliki lebih banyak guru," kata Rahhal.

Kementerian Pendidikan Suriah menambahkan bahasa Rusia sebagai mata pelajaran pilihan bahasa kedua selain Inggris dan Prancis pada tahun 2014. Lulusan sastra Rusia ingin dapat menganjar kelas-kelas khusus yang diawasi pakar dari Rusia langsung.

Pada Selasa (7/1) lal Presiden Rusia Vladimir Putin mengunjungi Suriah untuk kedua kalinya sejak Moskow membantu Assad. Keduanya bertemu di Damaskus.

Rusia dan Iran mendukung Assad untuk merebut kembali wilayah yang diambil alih pemberontak yang ingin menggulingkannya dalam perang saudara. Perang itu dipicu tindakan keras pemerintah terhadap unjuk rasa oposisi sembilan tahun yang lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement