Kamis 09 Jan 2020 10:36 WIB

Hegemoni Iran di Irak akan Berakhir, Cepat atau Lambat.

Selama dua belas tahun Nihad Salim Qoja menggawangi ibukota Kurdistan di Irak, Erbil. Dia meyakini warga Irak, terutama umat Syiah, menginginkan kemerdekaan mutlak dan terbebas dari pengaruh Teheran.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture-alliance/AP Photo/H. Mizban
picture-alliance/AP Photo/H. Mizban

Ancaman perang membayangi Timur Tengah menyusul ketegangan teranyar di Irak. Negeri kaya yang remuk oleh perang itu kini kian terbelah antara Sunni dan Syiah, dan menjadi ladang pertempuran baru antara Amerika Serikat dan Iran. Situasi semakin runyam ketika ratusan ribu warga Syiah Irak berdemonstrasi menentang korupsi dan pengaruh asing di negerinya.

Konflik yang menyandera Irak sejauh ini belum menyentuh wilayah otonomi Kurdistan di utara. DW berbincang dengan bekas Walikota Erbil, Nihad Salim Qoja. Dia meyakini pengaruh Iran di Baghdad akan berakhir, "cepat atau lambat."

Baca Juga

Berikut kutipannya:

Deutsche Welle: Erbil mengklaim diri sebagai kota bagi semua bangsa dan umat beragama. Kota ini sendiri hanya berjarak 80 km dari Mosul yang dikuasai Islamic State antara 2014-2017. Bagaimana kekuasaan ISIS berdampak pada kota Anda?

Nihad Salim Qoja: Erbil menampung banyak pengungsi yang saat itu merupakan tantangan besar buat kami. Tapi saya bisa memberikan contoh bagaimana penduduk kota menanggulanginya.

Ketika di awal perang gelombang pertama pengungsi mulai berdatangan, saat itu tengah malam, dan tanpa permintaan semua pasar dibuka dan para pedagang menyumbang bahan pangan, susu, popok bayi dan barang-barang lain.

Sejak kejatuhan ISIS angka pengungsi tidak berkurang banyak. Bagaimana situasinya saat ini di sana?

Kami masih menampung sekitar 450.000 pengungsi. Sebenarnya sejak sepuluh tahun terakhir sudah banyak pengungsi dari Irak Tengah dan Selatan yang menetap di Erbil. Mereka tidak kembali ke kampung halamannya. Mereka membeli rumah di sini, mengirimkan anaknya ke sekolah di sini dan menjadi bagian dari kota ini.

Dan mereka memperkaya kota Erbil dari segi budaya, keuangan dan secara umum juga. Atas hal ini kami sebagai warga Erbil sangat bangga. Ini adalah bagian dari sejarah kami. Di Erbil tidak ada yang peduli atas warna kulit atau agama Anda.

Bagaimana bangsa Kurdi menanggapi aksi demonstrasi antikorupsi di Baghdad dan kota-kota lain di selatan Irak?

Qoja: Sejak 2003 ada perbedaan besar antara kawasan Kurdistan dan Irak. Di sini kami memulai program pemulihan kembali sejak 2004. Dampaknya kota-kota Kurdi tumbuh berkembang.

Sebaliknya di Irak pemerintah tidak mampu membangun apapun. Kami memahami jika kaum muda turun ke jalan untuk menuntut hak-haknya. Mereka mendapat dukungan penuh dari kami. Kebanyakan kaum muda tidak punya kerja, mereka ingin menjalani kehidupan bermartabat di negaranya sendiri. Irak adalah negeri yang kaya.

Semua orang bertanya-tanya ke mana uangnya mengalir? Rumah sakit, sekolah, pusat kebudayaan, lembaga bantuan sosial... semua dalam kondisi memperihatinkan. Dan hal ini tidak boleh terjadi di Irak.

Korupsi adalah masalah paling mendesak di Irak?

Qoja: Tentu saja. Kami di Kurdistan tidak menyangkal, bahwa di sini pun tumbuh budaya korupsi. Tapi di Irak dimensinya luar biasa. Selain itu warga Irak juga ingin berdaulat di negeri sendiri.

Setiap orang tahu bahwa Iran memegang kendali di Irak sejak sepuluh tahun terakhir. Sampai hari ini tidak seorangpun bisa menjadi perdana menteri tanpa persetujuan Iran. Dan praktik ini harus diakhiri. Kami lah yang berhak menentukan arah kebijakan di negeri ini.

Bagaimana dan kapan hal itu bisa diwujudkan?

Qoja: Kita tidak bisa menentukan tenggat waktunya. Tapi kesediaan orang untuk bertaruh nyawa demi martabat diri dan hak untuk menentukan nasib sendiri adalah isyarat bahwa hegemoni Iran di Irak akan berakhir, cepat atau lambat.

Tidak sedikit demonstran yang menuntut agar perpecahan antara warga Sunni dan Syiah berakhir. Mereka mendambakan persatuan nasional. Apakah seruan itu dilontarkan untuk melawan pengaruh Iran?

Qoja: Tentu saja. Adalah fakta bahwa pengaruh Iran di kawasan Kurdi tidak sekuat seperti di Irak. Tapi di sini pun, setiap warga ingin agar Iran meninggalkan Irak, agar warga Irak bisa menentukan nasibnya sendiri.

Wawancara oleh Christopher Resch.

© Qantara.de 2020

Nihad Latif Qoja menjabat walikota Erbil sejak 2004. Erbil adalah ibukota wilayah Kurdi di Irak dan menjadi pusat pemerintahan Wilayah Otonomi Kurdistan. Pada 1981 bekas guru olahraga ini melarikan diri dari rejim Saddam Hussein ke Jerman dan menetap selama lebih dari dua dekade di kota Bonn.

Wawancara disadur ulang seusai konteks (rzn/vlz)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement