Jumat 10 Jan 2020 05:13 WIB

Campak Renggut Nyawa 6 Ribu Warga Kongo

Kekurangan dana menjadi kendala penyebaran wabah campak.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Dwi Murdaningsih
Petugas kesehatan memberikan vaksin Measles Rubella (MR) kepada siswa. ilustrasi
Foto: Antara/Fahrul Jayadiputra
Petugas kesehatan memberikan vaksin Measles Rubella (MR) kepada siswa. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, KINSHASA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, campak telah menewaskan lebih dari 6.000 orang di Republik Demokratik Kongo (DRC). Kekurangan dana tetap menjadi penghalang besar bagi upaya untuk mengekang wabah terus menyebar.

Sekitar 310.000 kasus campak diduga telah dilaporkan sejak awal 2019. "Kami melakukan yang terbaik untuk mengendalikan epidemi ini. Namun untuk benar-benar berhasil, kami harus memastikan bahwa tidak ada anak yang menghadapi risiko kematian yang tidak perlu akibat penyakit yang mudah dicegah dengan vaksin," ujar Direktur Regional WHO untuk Afrika Dr. Matshidiso Moeti dalam pernyataan yang dikutip dari CNN.

Baca Juga

Organisasi itu meminta mitra dan lembaga internasional untuk meningkatkan sumber daya guna memerangi epidemi campak terburuk di dunia. Meskipun badan tersebut dan mitra internasionalnya telah memvaksinasi 18 juta anak-anak Kongo di bawah usia 5 tahun, itu tidak cukup.

Cakupan imunisasi rutin yang telah dilakukan masih sangat rendah di seluruh negeri. Sebanyak 25 persen dari kasus yang dilaporkan di negara itu terjadi pada anak di bawah 5 tahun, yang memang paling rentan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin.

WHO pun telah memobilisasi 27,6 juta dolar AS tetapi dana yang dibutuhkan mencapai 40 juta dolar AS. Dana tersebut lebih lanjut untuk memasukkan anak-anak berusia antara 6 dan 14 tahun dalam program vaksinasi sambil juga meningkatkan respons kesehatan lainnya terhadap wabah tersebut.

"Kami mendesak mitra donor kami untuk segera meningkatkannya bantuan mereka," kata Moeti.

Petugas yang bertanggung jawab atas kantor WHO di DRC Amedee Prosper Djiguimdé mengakui kontribusi pemerintah dan donor dalam mengakhiri wabah mematikan. Namun, diperlukan lebih banyak upaya lagi untuk memutus korban dari campak.

"Ribuan keluarga Kongo membutuhkan bantuan kami untuk mengangkat beban epidemi yang berkepanjangan ini dari punggung mereka. Kami tidak dapat mencapai ini tanpa keuangan yang memadai," kata Djiguimde dalam pernyataan itu.

DRC berjuang melawan campak dan epidemi Ebola yang menghancurkan dimulai pada Agustus 2018. Setiap satu dari 26 provinsi negara itu telah melaporkan kasus campak sejak wabah dimulai sejak Juli tahun lalu.

Ketidakpercayaan sistem kesehatan dan konflik milisi yang meluas di beberapa provinsi di antara banyak kendala yang dihadapi lembaga kesehatan untuk mengakhiri epidemi kembar di negara ini.

Seperti dalam kasus Ebola, WHO mengatakan sulit untuk mendapatkan akses ke komunitas rentan karena wabah penyakit lain dan situasi keamanan di beberapa daerah. Pada November, empat petugas kesehatan yang menanggapi wabah Ebola tewas di Kongo timur.

Seorang dokter Kamerun ditembak mati pada bulan April di sebuah rumah sakit di Butembo, tempat dia merawat pasien Ebola. WHO mengatakan 60 petugas kesehatan yang dilatih pada bulan Desember akan dikerahkan di seluruh negeri pekan ini untuk membantu badan tersebut melakukan pelibatan masyarakat.

Masalah campak ini menjadi perhatian global, karena pada 2000 kejadian campak menurun. Namun, sejak tahun lalu, masalah ini timbul kembali bahkan membuat beberapa negara harus kehilangan status eliminasi campak, yaitu Albania, Inggris, Yunani, dan Ceko.

Dikutip dari BBC, data global dari WHO untuk korban campak pada tahun 2000  ada 28,2 juta kasus campak dan 535.600 kematian. Pada 2017, ada 7,6 juta kasus campak dan 124.000 kematian, dan 2018 ada 9,8 juta kasus campak dan 142.000 kematian.

Virus yang sangat menular ini menyebar melalui batuk dan bersin dan dapat hidup di udara setelah orang yang terinfeksi batuk atau bersin hingga dua jam. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat menyatakan, ketika seseorang tanpa kekebalan menghirup udara yang terkontaminasi atau menyentuh permukaan yang terinfeksi, mereka dapat tertular virus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement