Senin 13 Jan 2020 20:11 WIB

Dua Kubu Berkonflik di Libya Sepakati Gencatan Senjata

Gencatan senjata di Libya berlaku mulai Ahad tengah malam.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Pertempuran yang terjadi di pangkalan udara Brak El Shati, Libya, Jumat (19/5).
Foto: bbc
Pertempuran yang terjadi di pangkalan udara Brak El Shati, Libya, Jumat (19/5).

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Dua kubu yang terpecah di Libya yakni Government of National Accord (GNA) dan Libyan National Army (LNA) menyepakati gencatan senjata, Senin (13/1). Pembicaraan yang digelar di Moskow tersebut dihadiri oleh Komandan LNA, Khalifa Haftar dan Pemimpin GNA, Fayez al Serraj.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova mengatakan, pertemuan dua kubu tersebut akan disaksikan oleh menteri luar negeri dan pertahanan Rusia dan Turki. GNA dan LNA sepakat untuk melakukan gencatan senjata yang ditengahi oleh Rusia dan Turki. Gencatan senjata ini mulai berlaku pada Ahad tengah malam waktu setempat.

Baca Juga

"Al Sarraj, Haftar dan perwakilan partai-partai Libya lainnya diharapkan hadir dalam pertemuan ini," ujar Zakharova kepada wartawan.

Aljazirah melaporkan, pembicaraan antara dua kubu Libya di Moskow diperkirakan bakal berlangsung selama berjam-jam. Dalam laporan itu disebutkan, pertemuan kedua pemimpin itu bertujuan untuk menandatangani perjanjian gencatan senjata.

Libya telah dilanda kekacauan sejak Pemimpin Revolusi Libya, Muammar Gaddafi digulingkan dalam pemberontakan pada 2011. Sejak saat itu, negara yang kaya dengan minyak itu terpecah menjadi dua kubu yang berbasis di wilayah timur dan barat. Konflik antara kedua kubu tersebut telah menghancurkan ekonomi negara itu, dan mengganggu pasokan minyak.

Gencatan senjata didorong oleh seruan bersama oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Dorongan gencatan senjata ini merupakan upaya internasional terbaru dalam penyelesaian konflik Libya.

Turki merupakan pendukung Al Serraj dan telah mengirim pasukan untuk membantu GNA. Sementara, militer Rusia telah dikerahkan untuk membantu pasukan LNA. Presiden Putin mengatakan bahwa setiap warga negara Rusia yang berperang di Libya tidak mewakili kepentingan Rusia.

Sebelumnya, Interfax mengutip Ketua Kelompok Kontak Rusia di Libya, Lev Dengov mengatakan bahwa Al Sarraj dan Haftar akan membahas kemungkinan penandatangan gencatan senjata. Secara terpisah, Kepala Dewan Tinggi Libya, Khaled al Mechri mengatakan, penandatanganan perjanjian di Moskow akan membuka jalan bagi kebangkitan proses politik di Libya.

Al Mechri mengatakan kepada Al Ahrar TV bahwa dia akan mendampingi al Sarraj ke Moskow. Sementara, juru bicara parlemen yang berbasis di timur, Aguila Salah akan mendampingi Haftar.

Dalam pidato singkat yang disiarkan televisi pada Senin, al Sarraj meminta warga Libya untuk mengubur masa lalu. Dia juga meminta warga Libya untuk menghindari perselisihan dan menciptakan perdamaian serta stabilitas nasional.

"Saya meminta semua warga Libya untuk membalik halaman masa lalu, menolak perselisihan, dan bergerak menuju stabilitas dan perdamaian," ujar al Sarraj.

Dalam sebuah wawancara dengan TV Al Ahrar, Al Sarraj mengatakan bahwa GNA telah menerima gencatan senjata untuk mencegah pertumpahan darah yang berlarut-larut di Libya. Dia mengatakan, pasukan GNA siap untuk melanjutkan operasi militer jika terjadi gencatan senjata.

"Penerimaan kami terhadap gencatan senjata datang dari posisi yang kuat untuk mempertahankan kohesi nasional dan sosial," kata Al Sarraj.

Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari 280 warga sipil dan sekitar 2000 militan tewas sejak Haftar melancarkan serangan untuk merebut Tripoli. Sementara 146 ribu warga Libya telah mengungsi.

Dalam kunjungannya ke Moskow pada Sabtu lalu, Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan, Berlin ingin menjadi tuan rumah pembicaraan damai Libya. Dia berharap upaya Rusia dan Turki untuk menghentikan konflik bisa berhasil. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement