Selasa 14 Jan 2020 08:16 WIB

Australia Diduga Jual Senjata ke Negara Penjahat Perang

Australia menolak mengungkap jenis senjata dan untuk siapa.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Ilustrasi berbagai jenis senjata api
Foto: X80001/HANDOUT
Ilustrasi berbagai jenis senjata api

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Perusahaan-perusahaan Australia menjual senjata dan teknologi militer ke negara-negara yang dituduh melakukan kejahatan perang. Namun, pemerintah Australia menolak mengatakan senjata apa yang dikirim ke luar negeri dan kepada siapa.

Tingkat dan kerahasiaan seputar penjualan senjata asing Australia diungkapkan oleh dokumen berdasarkan undang-undang kebebasan informasi yang diterima The Guardian. Kecuali untuk keberadaan dan konfirmasi negara tujuan, dokumen-dokumen tersebut hampir seluruhnya dihapus oleh pemerintah, yang berpendapat informasi tersebut bersifat komersial-rahasia.

Baca Juga

Semua ekspor senjata memerlukan lisensi dari cabang pengawasan ekspor Departemen Pertahanan Australia. Departemen sebelumnya mengatakan kepada Senat memperkirakan lisensi ekspor tidak dikeluarkan jika senjata kemungkinan digunakan dalam pelanggaran hak asasi manusia.

"Jika kami menilai bahwa itu akan digunakan [untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia], kami tidak akan menyetujui izin itu," kata Tom Hamilton pada Februari. Dia saat itu bertindak sebagai wakil sekretaris kelompok kebijakan strategis dan kelompok intelijen departemen pertahanan.

Hampir 100 izin dikeluarkan untuk mengekspor senjata dan teknologi militer ke Uni Emirate Arab (UEA), Arab Saudi, Sri Lanka, dan Republik Demokratik Kongo selama tahun keuangan 2018-2019. Antara Juni 2018 sampai Juli 2019, Australia mengeluarkan 45 izin ekspor senjata ke Uni Emirat Arab, 23 ke Arab Saudi, 14 ke Sri Lanka dan empat ke Republik Demokratik Kongo.

Departemen pertahanan Australia telah menolak untuk mengungkapkan berapa banyak senjata yang telah dijual, untuk berapa banyak, atau untuk tujuan apa.

Beberapa izin senjata memuat item dengan terperinci. Salah satu izin tunggal untuk ekspor teknologi senjata mencapai 403 halaman dan berisi ratusan item. Namun, semua perincian itu dihapus oleh departemen pertahanan.

Nilai izin ekspor alat pertahanan yang dinyatakan senilai 5 miliar dolar AS dikeluarkan oleh Australia pada 2018-2019. Nilai tersebut meningkat dramatis dari 1,6 miliar dolar AS yang disetujui tahun sebelumnya.

Departemen Pertahanan Australia mengatakan, menjalankan penilaian risiko yang ketat pada senjata sebelum diekspor. Proses itu melibatkan pemeriksaan hak asasi manusia, kewajiban internasional Australia, kebijakan luar negeri, keamanan nasional, dan keamanan regional.

"Penilaian ini mencakup pertimbangan apakah ada risiko yang menimpa bahwa barang-barang yang diekspor dapat digunakan untuk melakukan atau memfasilitasi pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional," kata seorang juru bicara tahun lalu.

Sebagai rincian kejadian, Militer UEA dituduh melakukan kejahatan perang dalam konflik brutal di Yaman. Koalisi pasukan militer pemerintah UEA, Saudi, dan Yaman terlibat dalam pertempuran sengit dengan Pemberontak Houthi didukung oleh Iran.

Militer Arab Saudi telah memimpin pertempuran koalisi dalam konflik lima tahun.  Serangan itu diduga melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia, termasuk rumah sakit yang dibom, warga sipil menjadi sasaran penembakan dan penembak jitu, penduduk sipil secara sengaja dibuat kelaparan, persediaan medis diblokir, pemerkosaan, pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, dan memaksa anak-anak untuk bertarung.

Sebuah laporan oleh panel ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) mengatakan, negara-negara yang memasok senjata ke militer UEA atau Arab Saudi dapat terlibat dalam kejahatan perang yang dilakukan dalam konflik Yaman. Hal itu menegaskan keterlibatan Australia secara tidak langsung.

Militer Sri Lanka telah dituduh melakukan kejahatan perang selama beberapa tahun. Mereka terlibat dalam penghilangan manusia, pelecehan dan penyiksaan warga Tamil, aktivis demokrasi, jurnalis, dan penentang pemerintah.

Perdana menteri yang baru terpilih kembali Mahinda Rajapaksa  memimpin militer pada akhir perang saudara di negara itu. Menurut laporan PBB, operasi 2009 untuk mengakhiri perang menewaskan 40.000 warga sipil.

Sedangkan, kepala militer Shavendra Silva memimpin unit Divisi 58 tentara Sri Lanka pada tahun 2009. Dia dituduh melakukan serangan yang disengaja dan tidak pandang bulu terhadap warga sipil, zona tanpa api, dan rumah sakit.

Republik Demokratik Kongo telah menerapkan sejumlah embargo senjata sejak 2003 karena pasokan senjata yang memicu pembunuhan massal, pelanggaran hak asasi manusia, dan penyiksaan. Militer pemerintah sebelumnya termasuk dalam sanksi yang melarang pasokan semua senjata dan material terkait, tetapi dihapus dari daftar sanksi pada 2008. Embargo senjata masih berlaku untuk pasukan non-pemerintah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement