Selasa 14 Jan 2020 13:20 WIB

CEO Microsoft Kritik UU Kewarganegaraan India

CEO Microsoft Satya Nadella mengkritik UU Kewarganegaraan India

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
CEO Microsoft Satya Nadella mengkritik UU Kewarganegaraan India. Ilustrasi.
Foto: Time
CEO Microsoft Satya Nadella mengkritik UU Kewarganegaraan India. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Chief Executive Officer (CEO) Microsoft Satya Nadella mengkritik Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan India atau The Citizenship Amandement Act (CAA). Dia tumbuh di Hyderabad, kawasan teknologi India yang merupakan pusat penelitian serta pengembangan Microsoft terbesar di luar Amerika Serikat (AS).

Nadella menyoroti gelombang demonstrasi akibat disahkannya CAA. "Saya pikir apa yang terjadi menyedihkan, terutama karena seseorang yang tumbuh di sana. Saya pikir hal itu buruk," kata Nadella kepada BuzzFeed yang dikutip laman Aljazirah, Selasa (14/1).

Baca Juga

Menurut Nadella, kisah hidupnya sebagai imigran yang sukses memimpin perusahaan teknologi terkemuka di AS, bahkan dunia, bisa saja terjadi di India. "Saya akan senang melihat seorang imigran Bangladesh yang datang ke India dan menciptakan unicorn berikutnya di India atau menjadi CEO Infosys. Itu seharusnya aspirasi. Jika saya harus memilah apa yang terjadi pada saya di AS, saya harap itulah yang terjadi di India," ucapnya.

Dia pun menyinggung tentang keberagaman kampung halamannya di Hyderabad. "Saya dibesarkan di sebuah kota Hyderabad. Saya selalu merasa itu adalah tempat yang bagus untuk tumbuh dewasa. Kami merayakan Idul Fitri, Natal, Diwali. Ketiga festival itu besar untuk kita," ujar Nadella.

"Harapan saya adalah untuk India, di mana seorang imigran dapat bercita-cita untuk menemukan awal yang makmur atau memimpin perusahaan multinasional yang menguntungkan masyarakat India dan ekonomi pada umumnya," kata Nadella.

Sejak Desember lalu India telah dilanda demonstrasi akibat disahkannya UU Kewarganegaraan atau CAA. Dengan UU tersebut otoritas India dapat memberikan status kewarganegaraan kepada para pengungsi Hindu, Kristen, Sikh, Buddha, Jain, dan Parsis dari negara mayoritas Muslim, yakni Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh.

Status kewarganegaraan diberikan jika mereka telah tinggal di India sebelum 2015. Namun dalam UU tersebut, tak disebut atau diatur tentang pemberian kewarganegaraan kepada pengungsi Muslim dari negara-negara terkait. Atas dasar itu, CAA dipandang sebagai UU anti-Muslim.

Selama 2019, pemerintahan Perdana Menteri India Narendra Modi setidaknya telah mengambil tiga kebijakan yang sangat ditentang komunitas Muslim di negara tersebut. Pertama adalah pengesahan CAA.

Kedua, pencabutan status khusus Kashmir. Hal itu dilakukan pada Agustus 2019. Kashmir adalah satu-satunya wilayah di India yang dihuni mayoritas Muslim. Tak ada warga dari luar Kashmir yang diizinkan memiliki tanah atau tempat tinggal di daerah tersebut.

Namun dengan pencabutan status khusus, larangan demikian tak berlaku. Warga Muslim di sana khawatir pencabutan status khusus Kashmir dapat mengubah komposisi demografis wilayah tersebut.

Pemerintahan Modi juga telah mengadopsi kebijakan Daftar Warga Nasional atau National Register of Citizens (NRC). NRC mewajibkan setiap penduduk untuk membuktikan kewarganegaraan Indianya.

Para kritikus mengatakan kalangan non-Muslim pasti akan secara otomatis dicantumkan dalam daftar kewarganegaraan walaupun tak dapat membuktikan leluhur India mereka. Sementara umat Muslim menghadapi beban jika gagal membuktikan kewarganegaraan atau leluhurnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement