REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperingatkan, suhu tinggi dapat memicu peristiwa cuaca ekstrem pada 2020. Berdasarkan temuan pada analisis data, WMO mengatakan, peningkatan suhu global telah memiliki konsekuensi yang mengerikan.
"Tahun 2020 telah dimulai, di mana 2019 ditinggalkan dengan dampak cuaca ekstrem dan peristiwa terkait iklim," ujar Kepala WMO Petteri Taalas dalam sebuah pernyataan, dilansir Aljazirah, Kamis (16/1).
WMO mengatakan penelitiannya juga mengkonfirmasi data yang dirilis oleh pemantau iklim Uni Eropa pekan lalu, yang menunjukkan bahwa 2019 adalah terpanas kedua setelah 2016. WMO secara khusus merujuk kebakaran hutan di Australia yang telah berlangsung selama berbulan-bulan.
Kebakaran hutan dengan durasi cukup lama di Australia belum pernah terjadi sebelumnya. Bencana tersebut telah merenggut 28 nyawa, menghancurkan 2.000 rumah, dan membakar 10 juta hektare lahan. Para ilmuwan berpendapat, dunia harus meningkatkan kesiagaan akibat pemanasan global.
"Kami memperkirakan ada cuaca ekstrem sepanjang 2020 dan beberapa dekade mendatang. Hal ini didorong oleh meningkatnya efek gas rumah kaca," kata Taalas.
WMO mengatakan suhu global rata-rata selama periode lima tahun terakhir (2015-2019) dan 10 tahun (2010-2019) adalah yang tertinggi. Sejak 1980an, suhu pada setiap dekade semakin meningkat dan tre ini diperkirakan terus berlanjut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan, emisi gas rumah kaca harus turun 7,6 persen setiap tahun hingga 2030 untuk membatasi kenaikan suhu. Taalas mengatakan, suhu global rata-rata telah meningkat sekitar 1,1 derajat celcius. Dia memperingatkan pemanasan global yang sangat signifikan bakal terjadi di masa mendatang.
"Di jalur emisi karbondioksida saat ini sedang menuju peningkatan suhu 3-5 derajat Celcius pada akhir abad ini," ujar Taalas.
WMO juga menyoroti sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Ilmu Atmosfer. Data menunjukkan, kandungan panas lautan mencapai rekor tertinggi pada tahun 2019. Karena lebih dari 90 persen kelebihan panas disimpan di lautan dunia, kandungan panas adalah cara yang baik untuk mengukur tingkat pemanasan global.
"Jika kita melihat semua dampak di seluruh dunia yang sekarang terjadi sebagai akibat dari pemanasan, jelas bahwa kita tidak berhasil mencegah gangguan berbahaya dalam sistem iklim," kata Bob Ward dari Grantham Research Institute on Climate Change and the Environment di London School of Economics and Political Science.