Jumat 17 Jan 2020 04:21 WIB

Ukraina Minta Bantuan FBI Selidiki Dugaan Peretasan

Ukraina meminta bantuan FBI selidiki serangan siber perusahaan energi Burisma

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Ukraina meminta bantuan FBI selidiki serangan siber perusahaan energi Burisma. Ilustrasi.
Foto: ABC
Ukraina meminta bantuan FBI selidiki serangan siber perusahaan energi Burisma. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Ukraina meminta bantuan kepada Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat (AS) untuk melakukan penyelidikan atas serangan siber terhadap perusahaan energi Burisma. Serangan ini diduga dilakukan oleh peretas militer Rusia.

Hal itu dinyatakan oleh pejabat Kementerian Dalam Negeri Ukraina, Artyom Minyailo, pada Kamis.Perusahaan holding Burisma diandalkan oleh Ukraina ketika Presiden AS Donald Trump meminta pemerintah negara itu pada Juli 2019 untuk mengumumkan sebuah penyelidikan terhadap Hunter Biden, putra dari lawan politik Trump, Joe Biden.

Baca Juga

Hunter Biden pernah menduduki jabatan di Burisma dan tidak ada bukti pelanggaran yang dilakukan oleh Biden, yang membantah tuduhan korupsi dari Trump. Sistem keamanan perusahaan pengamanan siber area 1 yang berbasis di Kalifornia, Senin (13/1) lalu, mengidentifikasi peretasan terhadap Burisma yang terkait pada Direktorat Utama Intelijen Militer Rusia, atau GRU.

Kelompok peretas sama, yang dikenal dengan Fancy Bear atau APT28 oleh para peneliti keamanan siber, menerobos Komisi Nasional Demokratik pada 2016 yang disebut oleh penyelidik AS sebagai bagian dari operasi yang mengacaukan pemilihan umum di tahun itu.

Pihak Kementerian Pertahanan Rusia belum mengeluarkan komentar resmi terkait hal ini. “Tercatat bahwa serangan peretas sangat terkait dengan layanan khusus Rusia,” kata Minyailo.

Dalam kesempatan yang sama, Kementerian Dalam Negeri Ukraina juga mengumumkan penyelidikan atas dugaan pengintaian ilegal terhadap mantan Duta Besar AS untuk Ukraina Marie Yovanovitch, menyusul pemberitahuan melalui dokumen yang dirilis oleh Kongres AS pekan ini.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement