REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA – Generasi milenial melihat petaka perang sangat mungkin terjadi selama masa hidup mereka. Jajak pendapat yang dilakukan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) menemukan sebagian besar milenial percaya serangan nuklir mungkin terjadi pada dekade mendatang.
Survei dilakukan terhadap lebih dari 16.000 milenial di 16 negara. Setengah responden jajak pendapat yang digelar pada 2019 lalu ini berada dalam kondisi damai, dan setengahnya lagi sedang mengalami konflik.
ICRC mengeksplorasi pandangan generasi milenial tentang konflik, masa depan perang, dan nilai-nilai yang menjiwai hukum humaniter internasional, seperti penggunaan penyiksaan terhadap pasukan musuh. Hasilnya menunjukkan bahwa generasi milenial gelisah dengan masa depan dan ketegangan global cenderung memperdalam ruang ketakutan ini.
"Perkiraan kaum milenial ini mungkin merefleksikan peningkatan polarisasi dan retorika dehumanisasi," kata Presiden ICRC Peter Maurer dalam siaran pers yang Republika.co.id terima, Jumat (17/1).
Sebanyak 47 persen responden menilai ada kemungkinan terjadi perang dunia ketiga selama masa hidup mereka. Meskipun 84 persen meyakini penggunaan senjata nuklir tidak pernah dapat diterima tapi 54 persen percaya kemungkinan terjadinya serangan nuklir pada dekade mendatang lebih besar .
“Jika kaum milenial benar tentang perang dunia ketiga, penderitaan yang dialami negara-negara dan kawasan akan sangat besar. Ini pengingat betapa pentingnya hukum perang yang melindungi umat manusia dipatuhi sekarang dan di masa mendatang," kata Maurer.
Sebanyak 74 persen milenial juga percaya perang dapat dihindari. Jumlah yang hampir sama yakni 75 persen berpandangan batasan-batasan harus diberlakukan mengenai bagaimana perang dilakukan.
Namun, survei itu mengungkap tren mengkhawatirkan. Hal itu karena menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan yang diabadikan dalam hukum internasional.
Sebanyak 37 persen yakin penyiksaan dapat diterima dalam sejumlah keadaan tertentu. Walaupun mereka sudah dijelaskan ada konvensi PBB yang melarang penyiksaan. Sebesar 15 persen percaya komandan harus melakukan apa pun untuk menang, terlepas dari adanya korban sipil yang ditimbulkan.
Survei menunjukkan pengalaman perang membuat orang membenci perang. Di Suriah, 98 persen mengatakan penggunaan senjata nuklir tidak pernah dapat diterima, 96 persen mengatakan penggunaan senjata kimia tidak pernah dapat diterima, 96 persen mengatakan hal yang sama tentang senjata biologis, dan 85 persen meyakini anggota tempur musuh yang ditangkap harus diperbolehkan untuk menghubungi kerabat mereka. Keempat isu itu mendapat respons tertinggi dari 16 negara yang disurvei.
“Ketika kamu melihat teman-teman dan keluargamu mengalami kengerian perang, kamu sama sekali tidak ingin berurusan dengan senjata perang. Respons survei dari generasi milenial di Suriah, Ukraina, dan Afghanistan mengkonfirmasi fakta yang sudah jelas bagi kami: pengalaman perang membuat Anda membenci perang,” kata Maurer.
Orang-orang di negara-negara yang terkena dampak perang lebih cenderung meyakini akan ada lebih sedikit perang atau tidak ada lagi perang di masa mendatang. Jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan responden dari negara-negara damai dengan perbandingan suara 46 persen dan 30 persen.
Respons dari negara-negara yang tengah berperang juga menunjukkan tingkat harapan yang tinggi. Sebanyak 69 persen responden di Ukraina meyakini perang di negara mereka kemungkinan akan berakhir dalam lima tahun ke depan.