REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengklaim bahwa Turki adalah kunci perdamaian di Libya. Dia memperingatkan Eropa soal ancaman baru jika gagal mendukung pemerintah Libya yang diakui secara internasional, Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA).
"Potensi kegagalan Uni Eropa dalam mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya akan menjadi pengkhianatan terhadap nilai-nilai intinya sendiri, termasuk demokrasi dan hak asasi manusia," kata Erdogan dilansir dari Anadolu Agency, Ahad (19/1).
Selain itu, menurut Erdogan, Eropa juga akan menghadapi serangkaian masalah dan ancaman baru jika pemerintah sah Libya jatuh. Baginya, pilihan yang jelas bagi Eropa adalah bekerja dengan Turki karena tidak banyak yang tertarik memberikan dukungan militer ke Libya. Erdogan menyebut bahwa Turki akan melatih pasukan keamanan Libya dan membantu mereka memerangi teror, perdagangan manusia dan ancaman serius lainnya terhadap keamanan global.
Pada 12 Januari lalu, pihak-pihak yang bertikai dalam konflik Libya mengumumkan gencatan senjata sebagai tanggapan atas seruan Turki dan Rusia. Namun pembicaraan gencatan senjata itu berakhir tanpa kesepakatan pada Senin kemarin, setelah panglima perang Libya Khalifa Haftar meninggalkan Moskow tanpa menandatangani kesepakatan.
Di sisi lain, Jerman akan menjadi tuan rumah konferensi perdamaian besar untuk Libya. Pertemuan ini akan mencari komitmen yang lebih kuat dari para aktor regional agar terjadi gencatan senjata di negara yang dilanda perang, untuk membuka jalan bagi solusi politik. "Konferensi perdamaian yang akan datang di Berlin adalah langkah yang sangat signifikan menuju tujuan itu," ujarnya.
Kanselir Angela Merkel mengundang para pemimpin dari Turki, Rusia, AS, Cina, Prancis, Inggris ,dan aktor-aktor regional lainnya ke konferensi satu hari di Berlin, di tengah gencatan senjata yang rapuh antara pemerintah Libya yang diakui secara internasional dan pasukan yang setia kepada panglima perang Libya Khalifa Haftar.
Sejak penggulingan mendiang penguasa Muammar Gaddafi pada 2011, dua kursi kekuasaan telah muncul di Libya. Satu di Libya timur didukung terutama oleh Mesir dan UEA, dan satu lainnya di Tripoli, yang menikmati pengakuan PBB dan internasional.