REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan menghadiri konferensi mata uang digital (cryptocurrency) Korea Utara (Korut) pada Februari merupakan pelanggaran sanksi. Pemberitahuan ini dikeluarkan dalam laporan rahasia yang akan diserahkan ke Dewan Keamanan PBB akhir bulan ini.
Peringatan itu muncul setelah serangkaian acara memicu kecurigaan pada meningkatnya minat Korut pada blockchain dan mata uang kripto. Pada bulan Agustus, ahli dari PBB melaporkan Korut menghasilkan sekitar 2 miliar dolar dengan mencuri uang dari lembaga keuangan dan pertukaran mata uang kripto.
Laporan yang bocor itu mencatat Korut berencana menggunakan uang itu untuk senjata program pemusnah massal. Kondisi ini menjadi alasan yang wajar untuk kekhawatiran yang membuat PBB mengeluarkan peringatan.
Pada April tahun lalu, Korut mengadakan blockchain pertama dan konferensi mata uang digital pertama kali. Penyelenggara mengatakan, lebih dari 80 organisasi ikut serta, termasuk dari warga Amerika Serikat (AS), yaitu peneliti Ethereum Foundation Virgil Griffith.
Akibat terlibat dalam acara itu, Griffith pun didakwa dengan satu tuduhan konspirasi untuk melanggar undang-undang sanksi AS. Dia menghadapi 20 tahun penjara.
Korut sedang berada di bawah sanksi AS karena melakukan uji coba nuklir pada 2006. Negara tersebut menghadapi sanksi AS terhadap larangan perdagangan bahan dan barang yang terkait senjata di samping yang mencakup aset keuangan termasuk mata uang digital, dan transaksi perbankan.
Menurut situs web acara, konferensi akan berlangsung pada 10 Februari dan beberapa anggota komunitas blockchain masih berencana untuk terlibat. Acara tersebut diselenggarakan oleh delegasi khusus untuk Komite Hubungan Budaya dan presiden Asosiasi Persahabatan Korea Alejandro Cao de Benos dan pengembang bisnis di Bitcoin.com Chris Emms.
Aktivis dan pembocor Cambridge Analytica Brittany Kaiser mengatakan, telah diundang dalam acara konferensi diselenggarakan Agustus melalui grup Telegram yang dikelola oleh Emms. Dia menduga, Emms juga berada di belakang konferensi blockchain Korut April lalu.
Subjek film dokumenter Netflix The Great Hack ini membela anggota komunitas blockchain yang diundang ke acara April lalu. Dia mengatakan, mereka mungkin tidak menyadari bahaya yang terkait dengan mengunjungi Korut.
"Kebanyakan orang di industri blockchain adalah kaum idealis dan teknologis, bukan ilmuwan politik atau pakar dalam urusan luar negeri," ujar Kaiser dikutip dari Cointelegraph.
Berdasarkan pesan Telegram, sekitar 90 anggota komunitas blockchain ikut terlibat. Mereka harus membayar sekitar 3.550 dolar AS per orang, bersama dengan agenda acara yang mencakup wisata, konferensi, dan berbagai pertemuan bisnis.
Meskipun acara yang diselenggarakan oleh Emms Agustus lalu akhirnya dibatalkan,Kiaser masih ingin tahu siapa yang meminta Emms dan yang lainnya untuk mengatur acara tersebut. "Pejabat pemerintah DPRK mana yang ingin membawa mereka ke sana? Ini sangat mencurigakan dan bahkan lebih buruk ketika Anda mengambil keselamatan orang ke tangan Anda. Seorang peneliti untuk Yayasan Ethereum sekarang berada di penjara," ujarnya merujuk nama resmi Republik Rakyat Demokratik Korea.
Korut dinilai merusak gagasan kontrak sosial, hukum dan perjanjian internasional dengan memanfaatkan wilayah abu-abu hukum dan kurangnya regulasi blockchain dan teknologi kripto. "Kita harus lebih berhati-hati dalam mendukung teknologi yang muncul sebagai sesuatu yang positif secara alami. Alat-alatnya jinak tetapi beberapa orang yang menguasai mereka memiliki niat jahat," katanya.