Ahad 19 Jan 2020 15:25 WIB

Mekong: Benteng Terakhir Melawan Dominasi Cina

Cina ingin menyulap Mekong menjadi jalur dagang bagi kapal kontainer raksasa. Proyek ambisius itu terhambat penolakan masyarakat lokal di Thailand. Namun jikapun gagal, kerusakan lingkungan kadung menyergap.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture-alliance/dpa
picture-alliance/dpa

Adalah endapan batu sepanjang 97 km di dasar sungai Thailand yang menghalangi dominasi Cina atas Mekong. Beijing sejak lama mengincar sungai sepanjang 4.350 km itu untuk dikeruk dan dijadikan jalur bebas hambatan bagi kapal kontainer, dan kemungkinan kapal perang.

Mekong mengalir dari hulu di dataran tinggi Tibet, menyusuri Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja dan berakhir di Vietnam. Keberadaan sungai raksasa ini sejak awal dinilai krusial bagi ambisi Cina membangun koridor ekonomi ke tenggara. Beijing bersikeras proyek infrastruktur itu akan menjamin pertumbuhan ekonomi yang signifikan bagi kelima negara.

Jika berhasil, Cina akan memiliki koridor air dari provinsi Yunnan hingga ke Laut Cina Selatan, jalur dagang paling gemuk di dunia.

Namun proyek infrastruktur baru diyakini adalah hal terakhir yang dibutuhkan Mekong. Saat ini saja selusin bendungan sudah atau sedang akan dibangun di sepanjang sungai tersebut. Enam bendungan berada di wilayah Cina, delapan lain di Laos dan tiga di Kamboja.

Pembangunan bendungan dan pencemaran oleh industri atau limbah rumah tangga perlahan mengubah wajah Mekong. Populasi ikan ambruk, keluh nelayan Thailand, dan permukaan tanah di Delta Mekong di Vietnam yang dulu kaya unsur hara, perlahan amblas lantaran aliran sedimen yang menyusut tajam.

Padahal menurut ilmuwan, keragaman hayati di Mekong hanya bisa disaingi oleh hutan Amazon. Tapi saat ini spesies lokal seperti ikan patin raksasa dan lumba-lumba air tawar alias pesut terancam punah, klaim aktivis lingkungan.

Meski demikian godaan kemakmuran memupus harapan naturalisasi sungai Mekong.

Baca juga: Perawat Lansia dari Mekong

Desa Sop Ruak, Kilometer 1:

Sekelompok pelancong lokal memenuhi gerbang "Selamat Datang di Segitiga Emas" untuk berswafoto. Mereka dipandu oleh Zhang Jingjin.

"Segitiga Emas" adalah persimpangan tiga negara, antara Thailand, Myanmar dan Laos. Dulu kawasan ini dikenal lewat sindikat obat terlarang yang menyemut, kini investasi Cina memoles desa yang dulu tertinggal itu.

"Jika lebih banyak kapal yang bisa masuk, maka akan lebih banyak pengunjung, lebih banyak transaksi perdagangan dan bisnis" katanya. "Bisnis baik untuk semua orang."

Menurut rencana pemerintah Cina, beting yang memenuhi bibir sungai akan dikeruk dan dibersihkan. Timbunan lumpur dan batu tersebut menghalangi kapal besar memasuki Mekong. Baru setelahnya kapal besar dengan kapasitas muatan lebih dari 500 ton bisa melayari jalur air sepanjang 600 km dari Yunnan ke Luang Prabang di Laos.

Nantinya kedua bantaran sungai akan mendapat status Zona Ekonomi Khusus dan dilengkapi dengan pelabuhan, rel kereta dan jalan penghubung. Laos dan Kamboja yang tergolong miskin tidak punya banyak pilihan selain menerima tawaran investasi Cina. Kedua negara juga merupakan sekutu terdekat Beijing di ASEAN.

Saat ini ambisi Cina di Mekong terhambat protes aktivis lingkungan di utara Thailand. Namun mereka juga mengakui, sepak terjang Beijing jarang bisa digagalkan oleh sikap antipati penduduk lokal. "Mereka ingin mengubah Mekong menjadi jalan bebas hambatan untuk kapal kargo," kata Piaporn Deetes dari International Rivers.

Distrik Chiang Khong, Kilometer 67:

Bulan-bulan ini kota kecil di utara Thailand itu sedang demam festival budaya. Manula dengan senyum merekah dan pakaian berwarna meriah yang dirajut tangan berpose di depan Golden Phaya Naga, sebuah patung naga yang diyakini melindungi penduduk di bantaran Mekong.

"Budaya dan sejarah kami berkaitan erat dengan sungai ini," kata Samaio Rinnasak, seorang penduduk lokal. Namun pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan perlahan mengubah relasi kutural tersebut. Pada akhirnya "Cina akan melakukan apa yang mereka inginkan," kata Thitinan Pongsudhirak, peneliti Institute of Security and International Studies di Universitas Chulalongkorn.

Menurutnya bantuan pembangunan bendungan di Laos dan Kamboja, serta pembentukan Zona Ekonomi Khusus di kedua negara, meredam harapan pemulihan sungai Mekong. "Ini adalah cara Cina menggunakan kekuasaannya," imbuh Pongshudirak.

Di Huai Luek yang terletak di kilometer 97 dari Segitiga Emas, warga terbiasa menanam jeruk bali di bantaran sungai. Desa ini menjadi lintasan terakhir proyek raksasa Cina.

Meski bergantung hidup dari sungai, desa ini hanya memiliki sepuluh orang nelayan. Fenomena itu mengindikasikan menyusutnya populasi ikan lokal.

Mimpi buruk itu berawal pada 2008, kata bekas kepala desa Thongsuk Inthavong, ketika warna air sungai Mekong berubah cokelat. "Tetua desa saat itu mengatakan bahwa Phaya Naga sedang mengaduk dasar sungai untuk membangun sarang," kata dia. "Tapi perubahan itu terjadi di tahun yang sama ketika bendungan Jinghong milik Cina mulai beroperasi."

Dari rumah kayunya dia bisa melihat bantaran sungai yang dulu dikelola petani lokal, kini menjelma menjadi perkebunan pisang raksasa. Semua milik Cina.

Ironisnya investor yang sama menggoda petani Thailand untuk menjual lahan mereka. Sebab itu warga merasa nasib sudah di ujung tanduk. "Cina bermain dengan kami layaknya mainan," kata Thongsuk. "Ini membuat saya naik pitam. Tapi kami akan melindungi sungai kami."

rzn/vlz/gtp (AFP)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement