REPUBLIKA.CO.ID, AZAZ -- Di sebuah tenda di kamp pengungsi Suriah di Kota Azaz suara anak-anak terdengar begitu riuh. Mereka mengeja dan berusaha menghafal huruf alfabet dalam bahasa Arab. Konflik yang telah berlangsung selama sekitar sembilan tahun, mengubur kesempatan mereka menikmati pendidikan di bangku sekolah.
Namun, anak-anak pengungsi Suriah itu masih cukup beruntung karena dipertemukan dengan Ahmad al-Hilal (48 tahun). Dia adalah pengungsi yang dulunya berprofesi sebagai guru. Hilal berasal dari Kota Abu Dahur, Idlib.
Sebagai seorang guru, Hilal sangat menyadari konflik telah merenggut hak dan kesempatan anak-anak Suriah memperoleh pendidikan. Pertempuran tak hanya menghancurkan rumah atau pertokoan, tapi juga banyak bangunan sekolah.
Oleh karena itu, meskipun saat ini tinggal di kamp pengungsian, Hilal tetap berusaha membantu dan membimbing anak-anak Suriah belajar. Dimulai dengan memperkenalkan huruf alfabet.
"Anak-anak ini buta huruf. Mereka tidak membaca atau menulis. Mereka tidak memiliki siapa pun untuk membantu mereka," kata Hilal.
Peralatan penunjang kegiatan belajar di tenda pengungsian memang sangat seadanya. Anak-anak hanya memiliki pensil dan potongan-potongan kertas untuk menulis. Kendati demikian, hal itu tak menyurutkan semangat mereka.
Anak-anak Suriah.
Hilal pun demikian. Di tengah keterbatasan, dia tetap berupaya mendukung kegiatan belajar anak-anak di sana. "Kami membeli beberapa buku dan bagian-bagian dari Alquran," ucapnya.
Khaled (14 tahun) adalah salah satu anak di kamp pengungsian yang diajarkan oleh Hilal. "Kami datang ke sini sebagai pengungsi. Tidak ada lagi sekolah akibat serangan udara. Jadi kami belum pergi ke sekolah, tapi kami belajar di kamp di sini," ujarnya.
Hilal memang bukan satu-satunya pengungsi yang berusaha membantu dan membimbing anak-anak Suriah belajar. Di sebuah kamp terdekat di al Bab, sejumlah sukarelawan telah menyulap bus sekolah menjadi ruang kelas. Mereka menamakan bus itu sebagai Bus Pengetahuan.
Bus itu mampu menampung 50 anak. Mereka diajarkan matematika, keterampilan, bahasa Arab, dan agama. "Anak-anak tidak dapat pergi ke sekolah di kota. Jadi kami di bus datang kepada mereka dengan pengetahuan dan memberikan mereka hal-hal pembelajaran penting seperti membaca, menulis, dan matematika dasar," ungkap Mawiya Shular (32 tahun). Dia adalah pengungsi yang berasal dari wilayah Homs.
Shular mengatakan perasaan telantar memberinya motivasi untuk membantu dan mendukung anak-anak pengungsi Suriah. "Saya ingin mengeluarkan anak-anak dari rasa keterasingan mereka," ucapnya.
Menurut PBB, pengungsi Suriah didominasi wanita dan anak-anak. Selain bantuan kemanusiaan, anak-anak juga membutuhkan akses pendidikan.
UNICEF telah memperingatkan perang Suriah berpotensi meninggalkan satu generasi putus sekolah atau tak mengenyam pendidikan formal. UNICEF mencatat terdapat sedikitnya 7.000 sekolah yang hancur akibat konflik. Sebanyak dua juta anak Suriah harus belajar di luar kelas.