REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak negara-negara kekuatan dunia tak mengintervensi konflik internal Libya. Dia berharap hal itu turut dilakukan negara di kawasan.
Saat membuka konferensi perdamaian Libya di Berlin, Jerman, pada Ahad (19/1), Guterres menekankan perlunya tindakan segera dan tegas untuk mencegah perang saudara di Libya. Ia pun memperingatkan tentang potensi eskalasi regional.
Dia berharap konferensi Libya dapat berkontribusi terhadap upaya gencatan senjata yang berkelanjutan. Pertemuan di Berlin juga diharapkan dapat menciptakan lingkungan internasional yang akan membantu rakyat Libya menyelesaikan konflik dalam proses politik inklusif.
"Komunike Berlin menegaskan kembali prinsip-prinsip yang mendasar bagi pelestarian perdamaian dan keamanan interasional, seperti kedaulatan dan non-intervensi serta penghormatan terhadap hukum internasional, termasuk resolusi Dewan Keamanan PBB," kata Guterres, merujuk pada rancangan deklarasi Berlin yang diharapkan diadopsi para pemimpin negara yang menghadiri konferensi tersebut, seperti dilaporkan laman Anadolu Agency.
Selain Guterres dan Kanselir Jerman Angela Merkel, konferensi perdamaian Libya di Berlin dihadiri sejumlah tokoh lainnya, seperti Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan , Presiden Prancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi, dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo.
Saat ini, Libya memang terpecah menjadi dua kubu, yakni Government of National Accord (GNA) yang dipimpin Perdana Menteri Fayez al-Sarraj dan Libyan National Army (LNA) pimpinan Jenderal Khalifa Haftar. GNA merupakan pemerintahan yang didukung atau diakui oleh PBB.
Sejak April tahun lalu, pasukan Khalifa Haftar, yang menguasai sebagian besar wilayah Libya timur, terus melancarkan gempuran ke basis GNA di Tripoli. Mereka ingin mengepung dan menguasai ibu kota.
Libya telah dilanda krisis sejak 2011, yakni ketika pemberontakan yang didukung NATO melengserkan mantan presiden Muammar Qadafi. Dia telah memimpin negara tersebut lebih dari empat dekade. Qadafi pun tewas setelah digulingkan.
Sejak saat itu, kekuasaan politik Libya terpecah dua. Basis pertama memusatkan diri di Libya timur dengan pemimpinnya Khalifa Haftar. Sementara, basis yang didukung PBB berada di Tripoli. Pertempuran antara kedua kubu telah menyebabkan ratusan orang tewas dan ribuan luka-luka.