Selasa 21 Jan 2020 15:39 WIB

PBB Minta Krisis Iklim Jadi Pertimbangan Pemberian Suaka

Krisis iklim mendorong warga menjadi pengungsi yang mencari suaka di masa depan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Perubahan iklim (Ilustrasi)
Foto: PxHere
Perubahan iklim (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan rekomendasi kepada pemerintah setiap negara membuat keputusan penting yang dapat membuka jalan bagi para pengungsi akibat perubahan iklim di masa depan. Pemerintah dinilai perlu memperhitungkan krisis iklim ketika mempertimbangkan deportasi para pencari suaka.

Rekomendasi tersebut berasal dari Komite Hak Asasi Manusia PBB yang menangani kasus Ioane Teitiota dari negara Pasifik Kiribati. Dia membawa kasus terhadap Selandia Baru pada 2016 setelah pihak berwenang menolak klaim suaka sebagai pengungsi iklim.

Baca Juga

Teitiota bermigrasi ke Selandia Baru pada 2007 dan mengajukan status pengungsi setelah visanya berakhir pada 2010 dan dideportasi ke Kiribati pada September 2015. Dia mengklaim dampak perubahan iklim dan naiknya permukaan laut memaksa warga untuk bermigrasi.

Komite itu menguatkan keputusan Selandia Baru untuk mendeportasi Teitiota dengan mengatakan dia tidak menghadapi risiko ketika kembali ke negaranya. Namun, komite percaya degradasi lingkungan dan perubahan iklim adalah beberapa ancaman paling mendesak terhadap hak untuk hidup.

"Tanpa upaya nasional dan internasional yang kuat, dampak perubahan iklim di negara-negara penerima dapat membuat individu melanggar hak-hak mereka," kata komite itu dalam sebuah pernyataan.

Keputusan tersebut akan memicu kewajiban non-refouliement yang melarang suatu negara memerintahkan pencari suaka kembali ke negara di mana mereka kemungkinan akan berada dalam bahaya. Negara Kiribati di dataran rendah Pasifik Selatan memiliki populasi lebih dari 110.000, tetapi tingginya rata-rata 2 meter di atas permukaan laut. Kondisi itu menjadikannya salah satu negara yang paling rentan terhadap kenaikan air laut dan iklim lainnya.

Selandia Baru dan Australia telah menolak seruan untuk mengubah aturan imigrasi demi orang-orang Pasifik yang kehilangan tempat tinggal karena perubahan iklim. Peneliti Pasifik di Amnesty International Kate Schuetze menyatakan, putusan PBB itu tidak memperbaiki, tetapi bisa membuka pintu bagi para pencari suaka perubahan iklim di masa depan.

"Ini mengatakan suatu negara akan melanggar kewajiban hak asasi manusianya jika mengembalikan seseorang ke negara karena krisis iklim nyawa mereka dalam bahaya, atau dalam bahaya perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat," ujar Schuetze.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement