Rabu 22 Jan 2020 18:50 WIB

MA India Mulai Sidang Tuntutan Pencabutan UU Kewarganegaraan

UU Kewarganegaraan India dinilai mendiskriminasi Muslim.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nur Aini
Demonstran turun ke jalan menentang UU Kewarganegaraan di Mumbai, India, Jumat (20/12).
Foto: AP Photo/Rajanish Kakade
Demonstran turun ke jalan menentang UU Kewarganegaraan di Mumbai, India, Jumat (20/12).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Pengadilan tinggi India mulai mendengar puluhan petisi yang meminta pencabutan amandemen undang-undang (UU) Kewarganegaraan pada Rabu (22/1). Sebagian besar petisi yang didengar di Mahkamah Agung (MA) menyatakan, pengecualian Muslim dalam UU tersebut melawan kalimat pertama mukadimah konstitusi India dan pasal yang telah ada. Dalam konstitusi tersebut mendefinisikan India sebagai negara sekuler dan melanggar Pasal 14 yang menjamin persamaan di depan hukum.

Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi mensahkan UU Kewarganegaraan dengan alasan tindakan kemanusiaan. Penerapan peraturan itu, memungkinkan Indian memberikan kewarganegaraan bagi orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan agama di Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan.

Baca Juga

Peraturan yang disetujui pada Desember memicu perlawanan keras. Para pengunjuk rasa menentang karena UU tersebut bersifat diskriminatif karena tidak memasukkan Muslim sebagai agama yang bisa menerima manfaat peraturan itu.

Pemerintah Modi dan para pendukung mengatakan, imigran Muslim masih bisa mendapatkan kewarganegaraan melalui proses naturalisasi yang ada. Namun, proses tersebut dapat berjalan lama dan justru bisa menjadi alasan mengusir Muslim dari wilayah India.

Mereka yang menentang hukum tersebut percaya bahwa pemerintah akan berdebat klasifikasi hukum tidak didasarkan pada agama imigran, tetapi pada penganiayaan agama di tiga negara. "Jika Anda mendiskriminasi dengan alasan agama, itu sendiri dilarang dalam Konstitusi," kata penasihat senior di Mahkamah Agung India dan pendiri Jaringan Hukum Hak Asasi Manusia, Colin Gonsalves yang mengajukan dua petisi ke MA.

Gonsalves mengatakan, tidak mungkin hakim akan menjatuhkan atau mengubah hukum. Kondisi ini pun menimbulkan ketakutan atas independensi pengadilan. "Mahkamah Agung bukan lagi lampu suar demokrasi di India. Hakim hari ini adalah politis, penghubung, dengan cara yang salah, yaitu, terhadap pemerintah," kata Gonsalves.

Para kritikus juga mengatakan undang-undang kewarganegaraan yang baru mendiskriminasi karena menurunkan persyaratan tempat tinggal bagi para migran Hindu, Sikh, Budha, Jain, Parsi dan Kristen menjadi minimum hingga lima tahun. Sementara, hukum itu justru mempertahankannya  11 tahun untuk Muslim dan kelompok agama lainnya.

India memiliki populasi imigran yang luas dan tidak berdokumen di antara 1,3 miliar penduduknya. Banyak dari mereka yang tinggal di negara itu selama beberapa generasi dan harus mengajukan kasus kewarganegaraan di depan pengadilan semi-hukum. Hal itu menjadi penentu nasib untuk ditahan atau dideportasi jika pengadilan menganggap mereka orang asing. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement