REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Presiden Palestina Mahmoud Abbas menolak permintaan dari Presiden Amerika Serikat (AS) AS Donald Trump untuk berbicara melalui telepon. Hal itu diungkapkan seorang pejabat Palestina, Senin (27/1).
"Trump mengajukan permintaan itu beberapa hari yang lalu," kata pejabat itu yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena pembatasan berbicara kepada media, dikutip laman Anadolu Agency.
Pekan lalu, Gedung Putih memang mengumumkan bahwa Trump akan bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan ketua Partai Blue and White, Benny Gantz. Mereka direncanakan akan membahas prospek kesepakatan damai Timur Tengah yang kontroversial atau dijuluki "Kesepakatan Abad Ini."
Abbas telah beberapa kali mengumumkan penolakannya untuk menerima rencana AS. Sebab menurutnya tidak membahas masalah-masalah Yerusalem, pengungsi, dan perbatasan.
Channel 12 dan 13 Israel mengatakan bahwa rencana Trump akan mengakui kedaulatan Israel atas hampir semua pemukiman di Tepi Barat yang diduduki. Padahal hal itu ilegal menurut hukum internasional.
Rencana Trump juga akan secara efektif memindahkan perbatasan Israel yang diakui AS lebih jauh ke timur ke wilayah Palestina. Kedaulatan Israel akan diakui atas seluruh Yerusalem, yang Palestina cari sebagai ibu kota negara masa depan mereka.
Rencana tersebut juga akan mengakui negara Palestina yang didemiliterisasi di kemudian hari. Meski para pejabat Palestina sangat tidak mungkin menerima rencana itu. Menurut Channel 12 hal itu akan menuntut perlucutan senjata Hamas dan pengakuan Palestina atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Jika rencana itu terungkap pekan ini, maka akan bersamaan persidangan pemakzulan Trump di Senat. Rencana itu juga bersamaan dengan Knesset Israel yang memberikan suara tentang kemungkinan kekebalan bagi Netanyahu dalam tiga kasus korupsi.