REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina melaporkan lonjakan 25 kasus kematian karena virus corona jenis baru (2019-nCoV), Selasa (28/1). Penambahan korban jiwa ini meningkatkan total korban menjadi setidaknya 106 orang.
Otoritas kesehatan di Provinsi Hubei melaporkan 24 kematian baru dan Beijing melaporkan kematian pertama di ibu kota Cina. Sebelumnya, 81 kematian telah dilaporkan pada Senin (27/1).
Pada Selasa (28/1), Komisi Kesehatan Nasional Cina juga melaporkan 1.500 penularan baru virus corona di negeri tersebut. Dengan demikian, jumlah kasus yang tercatat di Cina telah mencapai sekitar 4.500 kasus.
Thailand juga melaporkan kenaikan jumlah kasus menjadi 14 pada Selasa dari delapan kasus sehari sebelumnya. Sedangkan, penularan 2019-nCoV juga terkonfirmasi di Jerman, Sri Lanka, dan Kamboja. Dengan begitu, total yang tertular di luar Cina mencapai 51 kasus di 14 negara.
Cina telah memperluas upaya pengendalian penyakit dengan memperpanjang musim liburan tahun baru Imlek pekan ini. Keputusan ini diambil untuk menjaga masyarakat tetap di rumah dan mengurangi risiko infeksi akan menyebar.
Ujian kemahiran berbahasa Inggris dan ujian lainnya bagi siswa untuk mendaftar ke universitas asing dibatalkan pada Selasa. Sekolah umum dan universitas telah diperintahkan untuk menunda pembukaan kembali setelah liburan tahun baru Imlek sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Upaya karantina di Cina dimulai pada 22 Januari dengan memutuskan perjalanan pesawat, kereta api, dan bus ke Wuhan yang berpenduduk 11 juta orang. Isolasi itu telah meluas ke 17 kota dengan lebih dari 50 juta orang dalam upaya pengendalian penyakit paling luas yang pernah diberlakukan.
Pesawat carteran pemerintah Jepang membawa warga Jepang yang dievakuasi dari Wuhan, China, sudah mendarat di bandara Haneda, Tokyo, Rabu (29/1). China melaporkan terus adanya peningkatan jumlah korban virus corona.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengoreksi status kewaspadaan mereka terkait penyebaran wabah virus korona. Diwartakan Channel News Asia, Selasa (28/1), WHO mengaku telah membuat kesalahan saat menilai potensi status resiko global penyebaran virus korona di negara tersebut.
WHO kini mengungkapkan bahwa status kewaspadaan penyebaran virus korona berada di level menengah atau moderat. Koreksi terkait status kewaspadaan penyebaran virus korona diungkapkan Ketua WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, kemarin.
Dalam pernyataan sebelumnya, WHO menyebut penyebaran wabah korona di China berada dalam level risiko tinggi secara regional dan global. WHO saat ini mengategorikan level kewaspadaan di tingkat evaluasi risiko global yang mencakup tingkat keparahan, penyebaran, dan kapasitas untuk mengatasinya.
Pendekatan hati-hati WHO terhadap wabah ini telah ditentang oleh beberapa kritikus. Hal itu dapat dilihat dalam konteks kritik pada masa lalu atas penggunaan istilah yang lambat atau terlalu terburu-buru.
Misalnya saat pandemi flu babi H1N1 2009 yang mematikan. Selama wabah itu, badan kesehatan PBB tersebut dikritik karena memicu kepanikan membeli vaksin dengan pengumuman bahwa wabah telah mencapai proporsi pandemi. WHO lantas mendapatkan kritik internasional ketika ternyata virus tidak seberbahaya penilaian mereka sebelumnya.
Pada 2014, WHO juga mendapatkan kritik keras karena mengecilkan parahnya epidemi ebola. Penyakit tersebut kemudian berdampak parah di tiga negara Afrika Barat dan dilaporkan telah menewaskan lebih dari 11.300 jiwa pada saat wabah berakhir pada 2016.
Petugas medis mengenakan pakaian proteksi lengkap di kota Wuhan, China, yang terkena wabah virus Corona.
Kekurangan pasokan
Wakil Kepala Biro Administrasi Medis Komisi Kesehatan Nasional (NCH) Cina Jiao Yahui mengatakan, sebagian besar rumah sakit di Wuhan mulai kekurangan pasokan peralatan medis. Ini menjadi kendala untuk mengobati pasien yang terinfeksi virus korona.
Jiao mengatakan, Pemerintah Cina telah mengirimkan 6.000 tenaga medis ke Wuhan. Sekitar 4.000 tenaga medis sudah berada di Hubei, sedangkan 1.800 lainnya dijadwalkan tiba pada Selasa (28/1) malam.
Para tenaga medis itu akan bekerja di Wuhan dan tujuh kota lainnya di provinsi itu. Jiao mengatakan, tenaga medis tambahan tidak dapat dikerahkan secara efektif karena kekurangan pasokan medis, seperti pakaian pelindung. "Kekurangan pakaian pelindung telah menjadi masalah utama. Beberapa tenaga medis kami belum bisa memulai tugasnya," ujar Jiao, dilansir South China Morning Post.
Di Wuhan, lebih dari 1.000 tempat tidur disediakan di beberapa rumah sakit untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pasien yang terinfeksi virus korona. Sementara itu, di Shanghai, semprotan antivirus telah digunakan di ruang gawat darurat Pusat Klinik Kesehatan Masyarakat Shanghai untuk melindungi staf medis yang terinfeksi virus korona.
Namun, Direktur Insititute of Infectious Diseases Xu Jianqing mengatakan, semprotan antivirus itu tidak dapat digunakan untuk perawatan pasien karena belum mendapatkan persetujuan. Sebuah laporan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Cina menyatakan, penularan virus corona dapat melalui pernapasan dan kontak fisik. Laporan itu mengatakan, periode inkubasi virus korona antara satu hingga 14 hari.
Kepala unit penyakit menular di Beijing Ditan Hospital, Li Xingwang, mengatakan, pasien yang terinfeksi virus corona dengan kasus ringan membutuhkan sekitar satu pekan untuk pulih. Sementara, pasien dengan kasus serius membutuhan dua pekan atau lebih.
Li mengatakan, beberapa pasien tidak menunjukkan gejala pneumonia dan hanya mengalami demam ringan atau batuk. Sedangkan, pasien lainnya mengalami kesulitan bernapas. n dwina agustin/rizky jaramaya/rizkyan adiyudha/ap, ed: fitriyan zamzami