Warga Yunani yang tinggal dekat Sungai Evros, yang merupakan perbatasan alami dengan Turki, sudah terbiasa menyaksikan berbagai insiden dengan pengungsi. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pengungsi berusaha menyeberangi sungai dari Turki ke Yunani, untuk mencapai Uni Eropa.
"Saya sudah menarik puluhan mayat dari sungai," kata seorang nelayan kepada DW, sambil menunjukkan foto-foto mayat di ponselnya. Beberapa dari mereka yang berhasil menyeberang, akhirnya juga mati kedinginan ketika bersembunyi dari kejaran polisi perbatasan Yunani di sepanjang tepi sungai.
Arus pengungsi terjadi sejak Perang Teluk pada awal 1990-an. Sejak itu, warga di tempat itu secara teratur menemukan mayat orang-orang yang tenggelam di sungai atau mati di tepiannya.
Kekerasan polisi
Marianthi Tasouli, yang tinggal di desa Mikro Dereio, mengatakan situasinya belakangan makin memburuk. Penduduk setempat selalu membantu para pencari suaka yang hampir putus asa dengan memberi mereka makanan dan pakaian.
"Empat orang mengancam putra saya dengan pisau, menyuruhnya untuk membawa mereka ke desa berikutnya," kata Tasouli.
Menurut sebuah LSM lokal, salah satu alasan mengapa banyak pengungsi berusaha menghindari jalur legal dengan mendaftarkan diri pada pihak berwenang adalah karena unit kepolisian diberitakan melakukan operasi ilegal untuk mengusir pengungsi. Antara lain dengan mendorong mereka kembali ke perbatasan atau menangkap dan kemudian mendeportasi mereka dengan paksa kembali ke Turki.
Seorang pemilik kafe di desa Praggi mengatakan kepada DW: "Semua orang di sini tahu bahwa mobil-mobil tanpa plat nomor milik polisi lalu lalang dan para pengungsi dideportasi secara ilegal."
Seorang lelaki berusia 19 tahun dari Afghanistan mengatakan kepada DW, dia berhasil menyeberangi sungai setelah mencoba empat kali. Dia lalu berjalan kaki ke kota Thessaloniki. "Dua kali saya ditangkap polisi Turki, ketiga kalinya oleh polisi Yunani. Mereka memukuli saya dan menghancurkan ponsel saya, kemudian mengirim saya kembali ke Turki."
Orang-orang 'dideportasi secara ilegal'
Bulan Desember lalu, Jaringan Pemantau Kekerasan Perbatasan, yang mendokumentasikan upaya-upaya semacam itu di sepanjang rute pengungsian di kawasani Balkan, melaporkan sebuah insiden dari November 2019.
Dua pria dari Maroko, berusia 25 dan 26 tahun, melaporkan bahwa mereka telah menyeberangi sungai Evros bersama seorang lain. Mereka mengatakan polisi Yunani menangkap orang yang ketiga, mengikat tangan dan kakinya dengan kabel dan melemparkannya ke dalam air.
Salah satu pria mengatakan kepada Jaringan Pemantau Kekerasan Perbatasan, dia tidak tahu apakah pria itu masih hidup atau mati. Sementaran kedua warga Maroko itu dideportasi dengan paksa ke Turki. Permintaan DW kepada polisi Yunani untuk menanggapi tuduhan itu ditolak.
"Orang-orang yang tiba di Yunani sering dibawa oleh mobil polisi ke lokasi dengan 60 atau bahkan sampai 100 orang lainnya," kata Selma Mesic dari Tim Info Mobile, sebuah LSM Yunani yang bertujuan membantu para pengungsi dan mendokumentasikan operasi deportasi mereka.
Selma Mesic menuntut agar kasus-kasus itu diselidiki aparat keamanan. "Banyak organisasi independen dan lembaga Uni Eropa yang sudah mengumpulkan cukup banyak data tentang deportasi ilegal," katanya. "Semua dari mereka menyimpulkan bahwa laporan-laporan tentang operasi deportasi ilegal itu dapat dipercaya. Orang-orang dari berbagai negara telah melaporkan insiden serupa pada waktu yang berbeda-beda."
Selma Mesic mengatakan, operasi itu tampaknya sudah menjadi bagian dari strategi keamanan di perbatasan. "Sangat tidak mungkin bahwa begitu banyak orang yang berbeda bisa mengarang begitu saja insiden yang terjadi persis dengan pola seperti ini," katanya. (hp/yf)