Kamis 30 Jan 2020 10:18 WIB

Bangladesh Beri Kesempatan Pengungsi Rohingya Bersekolah

Pengungsi Rohingya mendapat kesempatan bersekolah di Bangladesh.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nashih Nashrullah
Puluhan ribu pengungsi Rohingya memperingati tahun kedua peristiwa genosida Myanmar yang menyebabkan eksodus mereka di Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh, Ahad (25/8).
Foto: Rafiqur Rahman/Reuters
Puluhan ribu pengungsi Rohingya memperingati tahun kedua peristiwa genosida Myanmar yang menyebabkan eksodus mereka di Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh, Ahad (25/8).

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA – Bangladesh telah mengonfirmasi akan mencabut pembatasan pendidikan bagi para pengungsi muda Rohingya. Keputusan ini menjadi peraturan yang melonggarkan setelah sekian lama dinanti.  

Langkah pemerintah mengizinkan sekolah bagi anak-anak berusia 11-13 telah diterima secara luas oleh para aktivis dan guru. "Kami tidak ingin generasi Rohingya yang hilang. Kami ingin mereka memiliki pendidikan. Mereka akan mengikuti kurikulum Myanmar," kata Menteri Luar Negeri Bangladesh, AK Abdul Momen.

Baca Juga

Lebih dari 700 ribu etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh pada 2017. Mereka kabur dari perilaku yang menunjukkan potensi genosida dari militer Myanmar, sehingga menjadikan total populasi pengungsi di Bangladesh menjadi hampir satu juta.

Sejak itu para aktivis telah mengkampanyekan akses ke pendidikan untuk pengungsi berusia muda. Memperingatkan hampir setengah juta anak-anak Rohingya berisiko menjadi generasi yang hilang.  

Peneliti Human Rights Watch, Bill Van Esveld, mengatakan  pemahamannya tentang inisiatif baru ini akan memanfaatkan jaringan guru Rohingya yang ada. 

"Sekolah' tidak resmi ini beroperasi dengan anggaran hampir tidak ada, dan rentan ditutup petugas kamp. Sekarang, saya berharap, sektor bantuan kemanusiaan akan dapat mendukung jaringan sekolah ini," katanya. 

Di masa lalu, beberapa pemuda Rohingya yang putus asa akan pendidikan telah memalsukan kartu identitas warga Bangladesh. Hal itu dilakukan agar mereka dapat mendaftarkan diri secara diam-diam di sekolah. Pada 2019, Bangladesh mengeluarkan perintah bagi sekolah-sekolah lokal untuk mengeluarkan semua pemuda Rohingya. 

Keputusan baru yang diambil menjadi kabar segar bagi banyak pihak, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). "Kami percaya ini adalah langkah positif dan indikasi yang jelas dari komitmen pemerintah Bangladesh untuk memastikan akses pembelajaran bagi anak-anak dan remaja Rohingya," ujar lembaga atas nama "komunitas PBB dan kemanusiaan" ini.

Dengan upaya terbaru ini, PBB yakin pengungsi muda Rohingya akan terbekali  dengan keterampilan dan kapasitas yang tepat untuk masa depan. Mereka akan siap ketika ada kemungkinan untuk kembali ke Myanmar.

PBB menjelaskan, sektor pendidikan untuk kemanusiaan di Cox's Bazar berencana untuk mengujicoba pengenalan kurikulum Myanmar di kamp-kamp pengungsi Rohingya mulai bulan April. Untuk awal, program ini akan menargetkan 10 ribu siswa Rohingya di kelas enam hingga sembilan.  

"Penggunaan kurikulum Myanmar akan diperluas ke tingkat lain secara bertahap," ujar pernyataan PBB itu.

Aktivis dengan kelompok pemuda Rohingya Students Network yang berbasis di Kamp Sawyedollah mengatakan, pengumuman itu telah menghidupkan kembali kepercayaannya dalam komunitas kemanusiaan. 

Setelah beberapa tahun berkampanye tentang hak-hak Rohingya di Myanmar atau Bangladesh tanpa perbaikan apa pun, akhirnya hari yang dinantikan tiba.  

"Setelah mendengar berita ini, saya merasa sangat bahagia. Saya juga mengerti nilai organisasi PBB dan kelompok HAM internasional, " kata Sawyedollah.

Pengumuman peraturan baru untuk Rohingya ini pun pengingat bahwa kemajuan terbatas akan kembali diusulkan. Penawaran ini akan memuat pelatihan keterampilan untuk pemuda di atas 14 tahun harus diperluas ke pendidikan formal dan kualifikasi.

Rohingya telah mengisi kesenjangan pendidikan dengan mendirikan pusat pendidikan sendiri untuk mengajarkan keterampilan dasar seperti bahasa Inggris, matematika dan sains. Berjalannya proses pendidikan ini pun dianggap ilegal dan mendapatkan tentangan dari pemerintah Bangladesh.

Bangladesh sebelumnya telah menguji coba pendidikan terbatas untuk anak-anak Rohingya. Namun, menurut laporan pada 2002 oleh Médecins Sans Frontières, itu tidak melayani anak-anak untuk usia lebih dari 10 tahun. 

Menurut kelompok itu, kebijakan Bangladesh dipengaruhi keyakinan bahwa menyediakan sekolah adalah faktor tinggal bagi para pengungsi yang ingin dipulangkan ke Myanmar. 

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement