REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Wabah virus corona diperkirakan memperlambat pertumbuhan ekonomi China, dan berdampak pada mitra dagangnya di seluruh dunia. Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengatakan, masih terlalu dini untuk menyatakan bahwa wabah tersebut dapat berdampak terhadap perekonomi Amerika Serikat (AS).
"The Fed sangat hati-hati dalam memantau situasi. Masih terlalu dini untuk mengatakan sejauh mana dampaknya terhadap AS. Hal yang signifikan yakni berdampak pada ekonomi China, setidaknya dalam jangka pendek," ujar Powell.
Sebelumnya, seorang ekonom China memproyeksikan bahwa wabah virus corona dapat menurunkan pertumbuhan kuartal pertama sebesar satu poin menjadi 5 persen, atau lebih rendah. Menurut Powell, ekonomi China sangat penting dalam mata rantai perekonomian global. Apabila perekonomian China melambat, maka perekonomian negara lain yang memiliki hubungan dengan Beijing akan terdampak.
“Ekonomi China sangat penting dalam ekonomi global, dan ketika ekonomi China melambat kita merasakannya, atau yang berdagang lebih aktif dengan Cina ikut terdampak, seperti beberapa negara Eropa Barat," kata Powell.
China telah memberlakukan pembatasan perjalanan, serta menutup bisnis dan sekolah dalam upaya mengatasi penyebaran wabah virus corona. Wabah tersebut telah membuat sejumlah rantai bisnis global khawatir. Beberapa maskapai penerbangan, termasuk British Airways, United Airlines dan Lufthansa menunda penerbangan, dan para wisatawan membatalkan perjalanan ke China. Sejumlah bisnis termasuk Apple dan Starbucks memperingatkan dampak potensial pada rantai pasokan dan penjualan mereka.
Starbucks telah menutup lebih dari setengah tokonya di China. Sedangkan, Walt Disney menutup resor dan taman hiburannya di Shanghai dan Hong Kong. Google Alphabet Inc juga akan menutup sementara kantornya di China, Hong Kong, dan Taiwan.
"Virus corona kemungkinan akan memiliki dampak negatif terbesar pada sektor barang dan jasa di dalam dan di luar China, yang bergantung pada konsumen dan produk perantara mereka," kata analis Moody.
China pernah mengalami epidemi virus yang lebih besar pada 2002-2003 yakni Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Wabah itu mengakibatkan 800 kematian dan memperlambat perekonomian Asia. Berdasarkan analisis Moody, China kini menyumbang pertumbuhan ekonomi global cukup besar ketimbang pada 2002. Sebab, banyak negara yang membuka hubungan dagang dengan China.