Sabtu 01 Feb 2020 08:50 WIB

WNI akan Dievakuasi dari China, Apa Risikonya?

Sejumlah negara sudah lebih dulu mengevakuasi warganya dari China.

Rep: MGROL 125/ Red: Reiny Dwinanda
Pesawat jenis Boeing 737 yang akan dipakai untuk mengevakuasi WNI di Wuhan, Cina disiagakan di Skadron Udara 17,  Bandara Lanud Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Kamis (30/1).
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Pesawat jenis Boeing 737 yang akan dipakai untuk mengevakuasi WNI di Wuhan, Cina disiagakan di Skadron Udara 17, Bandara Lanud Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Kamis (30/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah wabah virus corona jenis baru semakin menyebar luas, banyak negara yang berusaha memulangkan masyarakatnya dari Wuhan maupun daerah lain di China secara keseluruhan. Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura telah mengirimkan pesawat untuk memulangkan warga negara mereka.

Indonesia pun melakukan hal serupa setelah organisasi kesehatan dunia, WHO, menyatakan infeksi virus corona jenis baru sebagai kedaruratan kesehatan global pada Kamis. Namun, apakah ada risiko di balik evakuasi masyarakat dari Wuhan?

Baca Juga

Dilansir Channel News Asia, Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mengatakan bahwa risiko tertular penyakit di dalam pesawat pada umumnya sama dengan di kabin bus atau kereta api. Namun, risiko penularan di pesawat terbang mungkin lebih rendah daripada di ruang terbatas lain karena pesawat modern memiliki sistem penyaringan udara kabin yang dilengkapi dengan filter high efficiency particulate air (HEPA).

Selain itu, penting adanya peraturan penggunaan alat yang lengkap untuk menghindari penularan tersebut. Wang Linfa, Direktur Program Penyakit Menular Emerging di Duke-NUS Medical School di Singapura mengatakan, pihak berwenang harus benar-benar membersihkan bandara dan mencegah penularan di setiap langkah logistik karena ini merupakan risiko yang sangat besar.

Scoot, maskapai Singapura, yang memulangkan 92 orang warganya pada Kamis, menyediakan masker bedah untuk semua penumpang dan mengharuskan krunya untuk memakai masker N95 serta sarung tangan bedah. Untuk membatasi interaksi fisik, paket makanan diletakkan di kursi sebelum lepas landas dan tidak ada makanan atau minuman yang didistribusikan dalam penerbangan.

Selain itu, Scoot mengatakan, skrining suhu dilakukan pada saat check-in dan sebelum naik. Mereka yang demam tidak dapat ikut dalam penerbangan demi kesehatan penumpang lainnya. Hal tersebut membuat ribuan warga asing di China tetap terjebak di Wuhan.

"Sangat disayangkan, tetapi warga negara yang tidak memiliki diplomatik semacam itu harus berurusan dengan situasi yang mereka hadapi," kata analis China Drew Thompson, mantan pejabat Departemen Pertahanan AS.

Air India juga memberlakukan tindakan serupa dalam upaya evakuasi menuju New Delhi pada Jumat. Menurut dr Paul Tambyah, pakar penyakit infeksi di National University of Singapore, mengevakuasi warga asing dari Wuhan memang berisiko.

"Akan tetapi, membiarkan mereka tetap berada di episentrum wabah global risikonya jauh lebih besar mengingat keterbatasan sumber daya di sana," kata Tambyah.

Maskapai penerbangan internasional telah memiliki protokol evakuasi, termasuk menyediakan satu bangku kosong antarpenumpang dan memastikan aliran udara dan kualitas udara di kabin tetap bagus. Sementara itu, setelah mereka kembali ke negara masing-masing, perlu adanya karantina untuk memastikan kesehatan warga yang dievakuasi.

Pengaturan karantina berbeda dari satu negara ke negara lain. Warga Singapura yang kembali dan tidak memiliki gejala virus akan dikarantina selama 14 hari. Mereka didampingi petugas konsuler.

Orang Prancis dan Inggris yang pulang ke negaranya juga akan menjalani karantina 14 hari, sementara orang Amerika akan secara sukarela diisolasi selama tiga hari di pangkalan udara AS. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan masa inkubasi virus.

Sementara itu, orang sebenarnya dapat terinfeksi, tetapi tidak menunjukkan gejala dalam antara dua hingga 17 hari. Menurut Wang, hal tersebut berarti karantina dua pekan akan menangkap sekitar 99 persen kasus.

"Ini semua menyangkut analisis risiko, tidak ada satu tipe karantina yang cocok untuk warga di semua negara di berbagai belahan dunia," ujar Wang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement