Ahad 02 Feb 2020 15:01 WIB

Ketakutan Virus Corona Buat Isu Anti-China Menguat

Tak hanya anti-China, virus corona bahkan memperkuat isu anti-Asia.

Rep: Dwina agustin/ Red: Friska Yolanda
 Sejumlah warga mengenakan masker berjalan melewati hiasan perayaan tahun baru Imlek yang dibatalkan di Taman Longtan di Beijing, Sabtu, (25/1/2020). Virus corona membuat isu anti-China menguat.
Foto: AP/Mark Schiefelbein
Sejumlah warga mengenakan masker berjalan melewati hiasan perayaan tahun baru Imlek yang dibatalkan di Taman Longtan di Beijing, Sabtu, (25/1/2020). Virus corona membuat isu anti-China menguat.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Virus corona jenis baru (2019-nCoV) meningkatnya sentimen anti-China. Seruan untuk larangan perjalanan penuh pada penduduk bahkan pengunjung yang melakukan kunjungan ke China sebelumnya. Restoran di Korea Selatan, Jepang, Hong Kong dan Vietnam telah menolak untuk menerima pelanggan China. 

Sedangkan, surat kabar Prancis dan Australia menghadapi kritik atas berita utama menunjukan rasis. Orang China dan orang Asia lainnya di Eropa, Amerika Serikat, Asia dan Pasifik mengeluhkan sikap rasisme yang ditunjukan kepada mereka.

Sentimen anti-China sebenarnya telah berkembang beberapa waktu yang lalu. Pengaruh Beijing terhadap kondisi global dan peningkatan perselisihan perdagangan, politik dan diplomatik dengan banyak negara menjadi alasannya.

Tapi, munculnya 2019-nCoV membawa kekhawatiran baru, terlebih lagi ketika kasus ini terus memakan korban yang bertabah setiap harinya. Reaksi anti-China pun semakin kuat, bahkan merambat menjadi anti-Asia.

Contoh saja di Amerika Serikat, setelah berita tersiar bahwa seseorang yang menghadiri Universitas Negeri Arizona terkena 2019-nCoV, Ari Deng yang adalah orang Amerika keturunan China merasakan perlakuan perbedaan. Ketika dia duduk  di meja belajar di Tempe, Arizona, dekat dengan mahasiswa lainnya, mereka mulai berbisik-bisik.

"Mereka menjadi sangat tegang dan mereka dengan cepat mengumpulkan barang-barang mereka dan pergi pada saat yang sama," ujar Deng.

Sementara itu, pusat layanan kesehatan Berkeley University of California mengunggah postingan Instagram yang menunjukan rasisme pada Kamis lalu. Lembaga itu menyatakan, ketakutan tentang berinteraksi dengan mereka yang mungkin dari Asia dan rasa bersalah tentang perasaan ini adalah reaksi normal terhadap wabah korona, kemudian postingan itu pun akhirnya dihapus.

Kondisi serupa pun terjadi pada warga Singapura di Selandia Baru yang mendapatkan perlakukan tidak menyenangkan ketika berbelanja. Kiwi Dollice Chua menyatakan ketika pergi ke mal Auckland untuk membeli kartu pernikahan pekan lalu, seorang wanita menatapnya dengan pandangan merendahakan.

Chua mendapatkan pernyataan "Kalian orang Asia yang membawa virus ini," ujar sosok yang telah tinggal di Selandia Baru selama 21 tahun. Mendapatkan respons tersebut, Chua pun merasa merasakan rasisme dan perlakukan tidak sopan.

 
Bahkan di Prancis, kasus rasisme karena menyebaranya 2019-nCoV di beberapa negara membuat anak sekolah pun menjadi korban. Padahal, tidak dapat dipungkiri negara tersebut memiliki komunitas Asia yang tidak sedikit dan terus berkembang.

Sebuah surat kabar Denmark Jyllands-Posten menerbitkan kartun yang menggantikan bintang kuning bendera China dengan representasi virus. Kedutaan Besar China di Kopenhagen menyebut kartun itu penghinaan terhadap China dan meminta surat kabar itu meminta maaf.

Masalah rasisme ini pun tidak terjadi di wilayah Barat saja, bahkan di Asia pun sentimen anti-China menjadi lebih besar.  Sebuah restoran makanan laut Seoul yang populer sering dikunjungi oleh wisatawan Cina memposting tanda yang mengatakan, "Tidak boleh masuk untuk Cina". Tempat ini pun kemudian melepaskan tanda tersebut setelah digugat oleh warganet.

"Xenophobia tanpa syarat terhadap orang China semakin meningkat. Penyakit menular adalah masalah ilmu pengetahuan, bukan masalah yang bisa diselesaikan melalui pencurahan emosi," ujar surat kabar Korea Selatan JoongAng Ilbo pada Kamis. 

Kondisi tersebut pun terjadi di Jepang. Sebuah toko permen di Hakone, sebuah kota sumber mata air panas di barat Tokyo, memposting catatan serupa. Menya Hareruya, rantai ramen yang populer di Sapporo di utara Jepang Pulau Hokkaido, memposting tanda bertuliskan "Tidak boleh masuk untuk turis China."

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement