REPUBLIKA.CO.ID, KAMPALA -- Uganda sedang mengkaji kemungkinan membuka kedutaan besar untuk Israel di Yerusalem. Hal itu diungkapkan Presiden Uganda Yoweri Museveni setelah bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Kampala, Senin (3/2).
Museveni mengatakan, Netanyahu memintanya agar membuka kedutaan besar Uganda untuk Israel di Yerusalem. Namun, dia masih mempertimbangkan hal tersebut.
"Kami sedang mempelajari hal itu," ujarnya.
Netanyahu berharap permintaannya itu dapat segera dieksekusi. "Anda membuka kedutaan di Yerusalem dan saya akan membuka kedutaan di Kampala. Kami berharap melakukan ini dalam waktu dekat," kata dia.
Uganda dan Israel memang belum memiliki kedutaan besar di negara masing-masing. Kedutaan Israel di Nairobi, Kenya, merupakan jembatan yang hingga kini digunakan untuk menjalin hubungan dengan Uganda.
Netanyahu mengungkapkan, selain membuka kedutaan, Israel dan Uganda juga sedang menjajaki kemungkinan membuka rute penerbangan langsung antara kedua negara. Mereka pun ingin mempererat kerja sama keamanan siber.
Pekan lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan rencana perdamaian Timur Tengah, termasuk untuk konflik Palestina-Israel. Namun rencana itu menuai banyak kritik dan protes.
Trump dinilai memprioritaskan dan membela kepentingan politik Israel. Hal itu terbukti karena dalam rencana perdamaiannya, Trump menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang tak terbagi.
Padahal dia mengetahui Palestina menghendaki Yerusalem Timur menjadi ibu kota masa depan negaranya. Palestina berulang kali menyatakan hal itu tak dapat ditawar, bahkan dengan solusi atau bantuan ekonomi sekalipun.
Sebagai pengganti Yerusalem Timur, Trump mengusulkan Abu Dis untuk menjadi ibu kota Palestina. Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah menolak rencana Trump.
Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mendukung sikap Palestina. Kedua organisasi tersebut turut menolak rencana perdamaian Timur Tengah buatan Trump.