Kamis 06 Feb 2020 00:01 WIB

Mahkamah Pidana Internasional Mulai Selidiki Myanmar

Myanmar diselidiki atas dugaan melakukan kejahatan terhadap etnis Rohingya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Suasana pengadilan internasional (ICJ) kasus Rohingya di Den Haag, Belanda, Rabu (11/12). Pengacara Kanada William Schabas dikritik karena membela Myanmar di pengadilan.
Foto: Koen van Weel/EPA
Suasana pengadilan internasional (ICJ) kasus Rohingya di Den Haag, Belanda, Rabu (11/12). Pengacara Kanada William Schabas dikritik karena membela Myanmar di pengadilan.

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah meluncurkan penyelidikan terhadap Myanmar yang diduga melakukan kejahatan terhadap etnis Rohingya. ICC mengerahkan tim ke kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh.

"Para penyelidik sudah berada di kamp. Jadi penyelidikan sudah dimulai," kata kepala delegasi ICC Phaksio Mochochoko yang berkunjung ke Ibu Kota Bangladesh, Dhaka, Selasa (4/2), dikutip laman Anadolu Agency.

Baca Juga

Mochochoko mengatakan para penyelidik ICC telah berbicara dengan berbagai kelompok mengenai penyelidikan yang menyeluruh dan komprehensif. Menurut dia, selain ke kamp pengungsi, tim penyelidik juga perlu menyambangi orang-orang Rohingya yang masih tinggal di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

"Tetapi sayangnya Myanmar tidak bekerja sama dengan kami dan tidak mengizinkan kami masuk. Ini adalah tantangan besar bagi kami, tetapi ini bukan tantangan yang tidak mungkin tercapai," ujar Mochochoko.

Dia mengungkapkan ICC memiliki pengalaman pada masa lalu saat beberapa negara menolak bekerja sama dalam proses penyelidikan. "Tetapi tim kami dapat menghasilkan bukti-bukti yang diperlukan bagi para hakim untuk sampai pada kesimpulan dalam proses peradilan dan kami dapat menjamin keadilan," katanya.

Sejak awal Myanmar memang enggan bekerja sama dengan ICC. Sebab, negaranya bukan merupakan penandatangan Statuta Roma. Mochochoko mengungkapkan, jika orang-orang Rohingya bermigrasi di Myanmar, ICC tidak akan memiliki yurisdiksinya.

"Jika orang-orang ini dari suatu negara dideportasi ke negara lain sebagai akibat dari penganiayaan, pembunuhan, dan bentuk-bentuk kekejaman lainnya dan negara yang bermigrasi adalah negara pihak pada Statuta Roma, ICC memiliki yurisdiksi untuk melakukan proses peradilan di atasnya," ujar Mochochoko.

Pada Januari lalu, Independent Commisssion of Enquiry (ICOE) mengatakan tidak menemukan bukti genosida terhadap etnis Rohingya. ICOE merupakan sebuah panel yang ditunjuk Pemerintah Myanmar untuk menyelidiki kekerasan terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine.

ICOE mengungkapkan ada alasan yang masuk akal untuk menyimpulkan anggota pasukan keamanan Myanmar bertanggung jawab atas kemungkinan kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serius pada Agustus 2017. Kala itu, operasi militer Myanmar di Rakhine menyebabkan ratusan ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.

ICOE tak menampik adanya pembunuhan penduduk desa yang tak bersalah dan penghancuran rumah-rumah. Namun, ICOE menuding kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) sebagai penyebabnya. Hal itu karena ARSA terlebih dulu melakukan provokasi, yakni dengan menyerang 30 pos polisi Myanmar.

"ICOE belum menemukan bukti yang menunjukkan bahwa pembunuhan atau tindakan pemindahan ini dilakukan berdasarkan maksud atau rencana untuk menghancurkan Muslim atau komunitas lain di Negara Bagian Rakhine utara," kata ICOE dalam sebuah pernyataan pada 20 Januari lalu.

"Tak ada bukti yang cukup untuk memperdebatkan, apalagi menyimpulkan, bahwa kejahatan yang dilakukan berniat menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok nasional, etnis, ras, atau agama, atau dengan kondisi mental lain yang diperlukan untuk kejahatan genosida internasional," kata ICOE.

Pada November tahun lalu Gambia, mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), telah membawa kasus dugaan genosida terhadap Rohingya ke Pengadilan Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda.

Gambia menilai Myanmar telah melanggar Kovensi Genosida PBB. Myanmar dan Gambia merupakan negara pihak dalam konvensi tersebut. Gambia adalah negara pertama yang tidak secara langsung terimbas kejahatan kekejaman massal, tapi menggugat negara lain sebelum ICJ.

Persidangan pertama kasus dugaan genosida Rohingya telah digelar selama tiga hari pada 10-12 Desember 2019. Dalam putusannya bulan lalu, ICJ meminta Myanmar untuk mencegah genosida Rohingya lebih lanjut.

Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan ARSA. Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.

Pada Agustus 2018, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di ICC. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement