Kamis 06 Feb 2020 02:35 WIB

Mahkamah Pidana Internasional Kumpulkan Bukti Kasus Rohingya

Penyidik Mahkamah Pidana Internasional akan mengunjungi kamp Rohingya.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Foto: Altaf Qadri/AP
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Penyidik dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mulai mengumpulkan bukti kasus yang melibatkan tuduhan kejahatan kemanusiaan Myanmar terhadap masyarakat Rohingya. Operasi militer Myanmar memaksa minoritas muslim itu melarikan diri ke Bangladesh.

Direktur kantor Kejaksaan ICC Divisi Yurisdiksi, Pelengkapan dan Kerja sama Phakiso Mochochoko mengatakan tim penyidik sedang mengunjungi kamp-kamp pengungsi Rohingya untuk mengumpulkan bukti. Ia mengatakan keadilan akan dilaksanakan entah Myanmar bersedia kooperatif atau tidak.  

Baca Juga

Di Dhaka, Bangladesh, Mochochoko mengatakan ICC akan mengejar kasus ini walaupun Myanmar bukan penandatangan Statuta Roma. ICC meminta Myanmar untuk bekerja sama dalam proses penyelidikan. Negara Asia Tenggara itu membantah melakukan tindak kejahatan kemanusiaan atau genosida.

Mochochoko mengatakan pengadilan memberikan mandat untuk memproses kasus ini karena Bangladesh penandatangan Statuta Roma dan Rohingya berada seluruh perbatasan negara itu. Ia menyadari tanpa partisipasi Myanmar penyelidikan akan berlangsung lama dan sulit.

"Ini tantangan, kami semua setuju ini tantangan, kami memiliki pengalaman di masa lalu, di situasi lain di mana negara menolak bekerja sama dengan kami, mereka menolak kami masuk ke wilayah mereka, tapi kami mampu melakukan penyelidikan dan mendakwa pelaku," kata Mochochoko, Rabu (5/2).

Ia mengatakan penyidik akan berbicara dengan pengungsi Rohingya. Mereka juga akan berbincang dengan saksi lain dari negara lain. Mochochoko mengatakan penyidik akan mengidentifikasi siapa yang merencanakan, memfasilitasi, dan melakukan kejahatan yang didakwakan.

"Sekarang penyidik dari kantor Jaksa Penuntut akan hati-hati dan teliti untuk mengungkapkan kebenaran tentang apa yang terjadi dengan orang-orang Rohingya di Myanmar yang telah membawa mereka ke Bangladesh," kata Mochochoko.

Ia mengatakan orang yang bertanggung jawab adalah kepala pemerintahan atau petinggi di Myanmar. Mochochoko mengatakan upaya Bangladesh untuk merepatriasi pengungsi Rohingya tidak akan terhambat oleh penyelidikan ICC.

Menurut Mochochoko, hal itu tetap dapat dilaksanakan dengan kesepakatan yang sudah disepakati bersama Myanmar. Ia juga berterima kasih kepada pemerintah Bangladesh atas dukungan yang mereka berikan.

"Kami harus melaksanakan penyelidikan independen kami, kami menantikan dukungan dan kerja sama selanjutnya dari Bangladesh," katanya.

Mochochoko mengatakan ICC akan bekerja sama dengan Mahkamah Internasional (ICJ). Pada bulan lalu ICJ memerintahkan Myanmar untuk mengambil semua langkah untuk mencegah genosida terhadap masyarakat Rohingya.

Pengadilan PBB itu mengatakan langkah untuk melindungi Rohingya bersifat mengikat. "Dan menciptakan kewajiban hukum internasional terhadap Myanmar," kata ICJ bulan lalu.  

Aktivis hak asasi manusia menyambut baik keputusan itu. Direktur hukum internasional Human Right Watch Param-Preet Singh mengatakan perintah ICJ agar Myanmar mengambil langkah konkret mencegah genosida terhadap Rohingya sangat penting untuk menghentikan kekejaman terhadap masyarakat yang paling teraniaya di dunia.

Lebih dari 700 ribu warga Rohingya terpaksa mengungsi ke Bangladesh setelah pasukan keamanan Myanmar menggelar operasi militer bulan Agustus 2017 lalu. Saat ini, Bangladesh menjadi tuan rumah bagi lebih dari 1 juta warga Rohingya.

Myanmar selalu mengklaim orang-orang Rohingya adalah imigran dari Bangladesh. Walaupun keluarga mereka sudah tinggal di negara itu selama beberapa generasi. Sejak 1982, hampir seluruh kewarganegaraan orang Rohingya ditolak.

Hal itu membuat mereka tidak memiliki kewarganegaraan. ICC menjadi pilihan terakhir ketika pengadilan nasional tidak dapat atau tidak bersedia menuntut pelaku kejahatan. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement