REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dewan Keamanan PBB (DK PBB) menggelar pertemuan tertutup untuk membahas putusan Pengadilan Internasional (ICJ) terkait krisis Rohingya, Selasa (4/2). Dalam putusannya, ICJ memerintahkan Myanmar untuk melakukan semua upaya untuk mencegah genosida terhadap Rohingya.
Menurut para diplomat yang mengetahui pertemuan tersebut, Dewan Keamanan PBB gagal mengadopsi sebuah pernyataan. Hal itu dikarenakan adanya keberatan yang dilayangkan China dan Vietnam. Beijing diketahui merupakan sekutu Myanmar.
Berbeda dengan Dewan Keamanan PBB, anggota Dewan Uni Eropa justru memerintahkan Myanmar untuk mematuhi perintah ICJ. "Myanmar harus mengatasi akar penyebab konfliknya, di negara bagian Rakhine, tapi juga di negara bagian Kachin dan Shan," Dewan Uni Eropa dalam sebuah pernyataan dikutip laman Aljazirah.
Eropa mendesak Myanmar agar mengadili pelaku yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia terhadap Rohingya. "Hukum humaniter adalah bagian penting dari proses ini," katanya.
Eropa turut mendorong Myanmar untuk terlibat aktif dalam proses repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh. "Myanmar harus menciptakan kondisi dan memfasilitasi pemulangan Rohingya secara sukarela, aman, bermartabat, dan berkelanjutan ke Myanmar," katanya.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah meluncurkan penyelidikan terhadap Myanmar yang diduga melakukan kejahatan terhadap etnis Rohingya. ICC mengerahkan tim ke kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh.
"Para penyelidik sudah berada di kamp. Jadi penyelidikan sudah dimulai," kata kepala delegasi ICC Phaksio Mochochoko yang berkunjung ke ibu kota Bangladesh, Dhaka pada Selasa (4/2), dikutip laman Anadolu Agency.
Mochochoko mengatakan para penyelidik ICC telah berbicara dengan berbagai kelompok mengenai penyelidikan yang menyeluruh dan komprehensif. Menurut dia, selain ke kamp pengungsi, tim penyelidik juga perlu menyambangi orang-orang Rohingya yang masih tinggal di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
"Tetapi sayangnya Myanmar tidak bekerja sama dengan kami dan tidak mengizinkan kami masuk. Ini adalah tantangan besar bagi kami, tetapi ini bukan tantangan yang tidak mungkin tercapai," ujar Mochochoko.
Dia mengungkapkan ICC memiliki pengalaman pada masa lalu saat beberapa negara menolak bekerja sama dalam proses penyelidikan. "Tetapi tim kami dapat menghasilkan bukti-bukti yang diperlukan bagi para hakim untuk sampai pada kesimpulan dalam proses peradilan dan kami dapat menjamin keadilan," katanya.
Pada November tahun lalu, Gambia yang mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) membawa kasus dugaan genosida terhadap Rohingya ke ICJ di Den Haag, Belanda.
Gambia menilai Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida PBB. Myanmar dan Gambia merupakan negara pihak dalam konvensi tersebut. Gambia adalah negara pertama yang tidak secara langsung terimbas kejahatan kekejaman massal, tapi menggugat negara lain sebelum ICJ.
Persidangan pertama kasus dugaan genosida Rohingya telah digelar selama tiga hari pada 10-12 Desember 2019. Dalam putusannya bulan lalu, ICJ meminta Myanmar untuk mencegah genosida Rohingya lebih lanjut.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.