REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Mahasiswa Iran harus melewati proses panjang agar dapat menempuh pendidikan di perguruan tinggi impian mereka di Amerika Serikat (AS). Sejak Agustus tahun lalu, impian 17 mahasiswa asal Iran untuk mengenyam pendidikan di AS harus pupus.
Mereka yang telah mengantongi visa resmi terpaksa tertahan di bandara AS. Bahkan, beberapa di antaranya dipulangkan dan sebagian besar diberikan larangan untuk kembali ke AS dalam lima tahun. Setelah melalui proses interogasi dan pemeriksaan cukup ketat, Petugas Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) menyatakan bahwa para mahasiswa Iran itu tidak layak masuk ke AS.
Salah satu mahasiswa Iran, Reihana, terbang dari Teheran ke Boston, Massachusetts pada September lalu. Dia sangat bersemangat untuk memulai program masternya di Harvard Divinity School. Namun ketika perempuan berusia 35 tahun itu mendarat di bandara Logan, petugas CBP membawanya ke ruang terpisah untuk diinterogasi.
Reihana mengatakan dia diinterogasi tentang perjalanannya, pengalaman kerja, keluarga, dan nomor ponsel. Kemudian seorang petugas menggeledah barang bawaanya dan menemukan sebuah Al-Quran. Petugas bertanya tentang alasan Reihana membawa Al-Quran. Petugas juga menggeledah laptop dan ponselnya.
Reihana menambahkan, dia juga ditanya tentang pendapat orang Iran terkait ledakan di Arab Saudi. Hal ini merujuk pada serangan drone pada 14 September terhadap dua fasilitas minyak utama di Saudi. Houthi mengaku bertanggung jawab atas serangan itu.
"Saya bilang, saya mengemasi barang-barang beberapa hari sebelum berangkat dan saya tidak mengikuti berita. Saya jelaskan bahwa saya tidak tahu dan orang-orang Iran pada umumya berharap situasi akan membaik," ujar Reihana yang enggan menyebutkan nama belakangnya kepada Aljazirah.
Setelah lebih dari delapan jam diinterogasi, Reihana harus menandatangani formulir. Petugas mengambil sidik jari dan foto Reihana sebelum dia dipulangkan ke Iran.
Dia menolak menandatangani dokumen itu dan petugas menganggap Reihana berencana untuk memperpanjang visa di AS dan menjadi migran. Menurut Reihana, tuduhan itu tidak benar. Reihana mengatakan selama proses interogasi petugas menolak permintaannya untuk menghubungi keluarga dan pejabat universitas.
"Saya mengalami salah satu pengalaman terburuk dalam hidup saya. Ini benar-benar membuat saya trauma," kata Reihana.
"Saya telah menginvestasikan banyak waktu dan upaya dalam meraih kesempatan untuk belajar di program studi impian saya," ujar Reihana melanjutkan.
Seorang pengacara imigrasi yang mewakili Reihana, Susan Church, mengatakan perlakuan pajabat bea cukai tersebut dipicu oleh ketegangan antara AS dan Iran. Terutama setelah Presiden AS Donald Trump memerintahkan pembunuhan terhadap kepala militer Iran, Qasem Soleimani pada 3 Januari lalu.
"Kami pikir telah ada peningkatan yang signifikan dalam pemeriksaan, interogasi, pembatalan visa dan penerbitan perintah pemindahan yang dipercepat terhadap Iran dalam 10 bulan terakhir," kata Church.
Church mengatakan para mahasiswa Iran tiba di bandara AS dengan visa yang berlaku dan dokumen pendukung yang diperlukan setelah proses pemeriksaan selama sebulan oleh Departemen Luar Negeri. Mereka menyerahkan informasi yang rinci tentang latar belakang, pendidikan, pengalaman kerja, ikatan keluarga, alamat email, hingga akun media sosial.
Selain Reihana, penolakan juga dialami oleh Abadi (24 tahun). Dia ditolak masuk ke AS pada bulan lalu dan terbang kembali ke Iran. Abadi adalah mahasiswa di Northeastern University.
Beberapa hari kemudian, Alireza Yazdani (27), seorang mahasiwa PhD Iran dipulangkan setelah tiba di bandara AS. Dia telah berencana melanjutkan studinya di Michigan State University. Sebelum dipulangkan, Yazdani diiterogasi oleh petugas selama berjam-jam di bandara Detroit, Michigan.
Seorang mahasiswa PhD lainnya yang telah diterima di University of California, Mohamad Elmi (31), juga ditolak masuk ke AS dan dipulangkan kembali ke Teheran. Dia diterbangkan kembali ke Iran setelah 24 jam diinterogasi di Bandara Internasional Los Angeles.
Pengacara imigrasi yang mewakili mahasiswa yang dideportasi, Ghazal Nicole Mehrani mengatakan dalam beberapa bulan terakhir ada tren penolakan mahasiswa Iran di sejumlah bandara di AS. Padahal para mahasiswa itu telah mengantongi visa resmi yang disetujui.
"Mereka memiliki semua dokumen resmi. Tetapi saat tiba di bandara, mereka tidak diizinkan masuk ke negara itu," ujar Mehrani.
Mehrani mengungkapkan deportasi memiliki konsekuensi yang sangat luas bagi para mahasiswa. Sebagian besar dari mereka mempunyai prestasi cemerlang, pekerja muda yang berpendidikan tinggi, serta sangat terampil.
"Begitu mereka mengetahui bahwa mereka tidak bisa datang ke sini, itu berdampak pada mereka secara akademis, finansial, dan emosional," kata Mehrani.
Sebelumnya pada Januari, lebih dari 60 warga Iran dan Iran-Amerika ditahan selama berjam-jam di perbatasan AS-Kanada ketika mereka berusaha untuk pulang. CBP mengklaim, peningkatan jumlah pelancong di perbatasan dan kurangnya staf selama musim liburan menyebabkan antrean panjang saat pemeriksaan.