REPUBLIKA.CO.ID, WUHAN — Para dokter di Wuhan, Provinsi Hubei, China yang merupakan kota tempat pertama kali virus corona tipe baru berasal memperlihatkan sejumlah foto yang menunjukkan memar di wajah mereka. Penggunaan alat pelindung yang ketat selama berhari-hari merawat ribuan pasien meninggalkan bekas di pipi, dahi, dan hidung mereka.
Sebanyak lebih dari 24 ribu orang dilaporkan telah terinfeksi virus corona, dengan 99 persen kasus terjadi di China daratan. Di Wuhan, sebuah rumah sakit dibangun khusus untuk merawat pasien akibat virus ini, dengan ketersediaan 1.000 tempat tidur, yang diharapkan membantu meringankan fasilitas medis yang sebelumnya tidak mampu menangani pasien secara maksimal.
Dilansir Fox News, banyak petugas medis di China yang harus menggunakan popok dewasa saat bekerja. Mereka dikatakan tidak memiliki waktu sama sekali untuk pergi ke toilet dan tak dapat melepas perlengkapan pelindung di tubuh dengan mudah untuk sekadar berkemih
Pekan lalu, Unicef mengirim enam metrik ton pasokan ke Wuhan, yang berisi di antaranya masker pernapasan dan pakaian pelindung. Namun, untuk membawanya tiba ke kota tersebut sangat sulit karena isolasi yang telah dilakukan sejak 23 Januari lalu.
Seorang dokter mengatakan kepada South China Morning Post bahwa ia belum pulang ke rumah dalam dua pekan. Pemerintah China telah mengirimkan lebih dari 400 staf medis militer ke Wuhan untuk membantu mengatasi masuknya pasien.
Petugas medis pun melampiaskan frustasi mereka melalui media sosial. Bukan cuma mereka yang kesal. Sejumlah laporan juga mengungkap, pasien pun emosi setelah berhari-hari diisolasi. Mereka bahkan sampai melakukan kekerasan terhadap petugas medis.
"Emosi semakin tinggi karena rumah sakit telah berjalan pada kapasitas maksimum sejak awal Januari. Banyak yang tidak mendapatkan fasilitas untuk dirawat karena penuh. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Dokter dan perawat bekerja tanpa henti, bahkan sif tengah malam benar-benar penuh, kami dikelilingi pasien yang batuk sepanjang malam,” ujar seorang dokter kepada SCMP.
Di sisi lain, pasien dan banya orang di China mengatakan adanya miskomunikasi antara pejabat setempat dan penduduk tentang apa yang harus dilakukan menyebabkan frustasi. Bahkan, seorang warga mengakui bahwa para pejabat tersebut juga tidak tahu siapa yang harus dihubungi untuk meminta bantuan.
“Kami mendengarkan semua hal yang diminta oleh pemerintah, kami sangat patuh. Saya juga mengirim bibi dan ibu saya ke bangsal isolasi, namun bangsal ini ternyata adalah tempat di mana Anda mengirim orang untuk mati dengan sendirinya,” jelas warga lainnya.
Di Hong Kong, kota administratif China, rasa frustrasi meluas hingga memicu pemogokan hingga berhari-hari oleh pekerja medis. Mereka telah menyerukan pemerintah setempat untuk menyegel perbatasan ke China. Sebanyak 7.000 pekerja menolak untuk datang kerja mulai awal pekan ini.
"Layanan penting, operasi kritis telah terpengaruh. Jadi saya menarik bagi mereka yang mengambil bagian dalam tindakan ini: Mari kita menempatkan kepentingan pasien dan seluruh sistem kesehatan masyarakat di atas segalanya" kata kepala eksekutif Hong Kong, Carrie Lam.