REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW - Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov menegaskan kembali dukungan tegas Rusia bagi Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Keduanya bertemu dalam kunjungan Lavrov untuk pertama kalinya sejak 2011 ke Venezuela, Jumat (7/2) waktu setempat.
"Kami menegaskan kembali dukungan kami untuk Presiden Venezuela yang sah, Nicolas Maduro. Kami juga menyambut inisiatif presiden untuk membuka dialog bagi semua sektor negara ini," ujar Lavrov dikutip Anadolu Agency, Sabtu (8/2).
Dalam kunjungan ke Venezuela, Lavrov juga bertemu dengan perwakilan 'Dialog Nasional' dan merujuk pada sanksi ilegal dari Amerika Serikat (AS) terhadap Venezuela. Menurutnya, krisis di negara kaya minyak itu adalah ulah AS untuk menggulingkan Maduro.
"Dialog Nasional Venezuela terbuka untuk semua partai politik. Jelas bahwa lawan radikal alergi terhadap peristiwa ini," kata Lavrov, sambil menekankan pembatasan AS yang bertujuan memulai pemberontakan rakyat di Venezuela. Lavrov mengatakan kedua sekutu sepakat untuk meningkatkan kerja sama dalam berbagai bidang meskipun blokade, yang kata dia, ilegal masih berlangsung.
"Perjanjian yang kami capai adalah tentang pendidikan, industri, logistik militer, dan ekonomi," Lavrov menambahkan. Dalam kritik yang jelas terhadap pemimpin oposisi Venezuela, Juan Guaido, Lavrov mengatakan pihaknya meyakni bahwa ambisi politisi tertentu tidak seharusnya menang atas kepentingan rakyat.
Sehari sebelumnya, Maduro berpidato di hadapan Presiden AS Donald Trump dalam sebuah video setelah ia menjadi tuan rumah Guaido di Gedung Putih dan menyebutnya sebagai pemimpin Venezuela. Maduro kemudian mendesak Trump untuk menghentikan obsesinya dengan Venezuela. "Donald Trump, Anda tidak bisa mengalahkan Venezuela. Venezuela tidak dihancurkan, juga tidak dilanggar oleh siapa pun," kata Maduro dalam video tersebut.
Selain itu, Rusia dan Venezuela juga sepakat untuk bersidang pada Mei untuk komisi antar pemerintah mengenai perdagangan dan ekonomi. "Semua aspek kerja sama material dan praktis kami akan ditinjau pada sesi komisi tingkat tinggi," demikian bunyi rilis dari Kementerian Luar Negeri Rusia.