REPUBLIKA.CO.ID, BERN -- Swiss menggelar pemungutan suara untuk memutuskan apakah akan mengesahkan undang-undang perlindungan terhadap komunitas LGBT pada Ahad (9/2). Hal itu telah memicu perdebatan di kalangan publik Swiss.
Anna Rosenwasser dari Swiss Lesbian Organisation mendukung proses pemungutan suara tersebut. Dia mengatakan hingga saat ini Swiss belum memiliki peraturan hukum atau undang-undang tentang diskriminasi publik berdasarkan orientasi seksual. Sementara diskriminasi berdasarkan ras atau agama telah dinyatakan sebagai tindakan ilegal di sana.
Rosenwasser menilai ketiadaan hukum untuk melindungi komunitas LGBT telah menimbulkan dampak serius. Dia mengutip angka kematian akibat bunuh diri. Dibandingkan orang-orang heteroseksual, jumlah kasus bunuh diri di kalangan homoseksual lima kali lebih besar. "Ini menunjukkan bagaimana kita belum merasa aman," katanya dikutip laman BBC.
Tak sedikit pula kalangan yang menentang undang-undang diskriminasi berdasarkan orientasi seksual. Mereka menilai hal itu dapat membatasi kebebasan berbicara. "Kita bahkan tidak tahu apakah lelucon tentang gay akan diizinkan. Ada yang mengatakan 'ya', ada yang mengatakan 'tidak', mereka akan dihukum," ujar politisi dari partai sayap kanan Swiss People's Party, Benjamin Fischer.
"Kita hidup di negara dengan kebebasan berekspresi, orang-orang harus diizinkan untuk berpikir dan mengatakan apa yang mereka sukai, meskipun itu sedikit bodoh atau hambar," kata Fischer.
Argumen Fischer pun ditentang oleh tokoh yang mengampanyekan undang-undang perlindungan komunitas LGBT, Jessica Zuber. "Kebebasan berekspresi dalam demokrasi liberal hanya berlaku sejauh hak individu atas martabat manusia dilindungi. Jika undang-undang ini disahkan, itu adalah pertanda kuat menuju penerimaan martabat manusia semua orang, apapun orientasi seksual mereka," ujar Zuber.
Ada pula tokoh-tokoh agama yang menentang undang-undang perlindungan komunitas LGBT. Sekretaris Jenderal Swiss Evangelical Alliance Marc Jost adalah salah satu figur yang cukup keberatan dengan undang-undang tersebut.
"Gereja-gereja kita melihat pernikahan seorang pria dan wanita sebagai satu-satunya pasangan yang ingin mereka nikahi. "Kami hanya ingin bebas untuk mengatakan: 'Oke, kami ingin hak istimewa pernikahan pria dan wanita.' Dan kami tidak ingin berada dalam risiko jika kami berbagi pendapat ini dan memperlakukan pasangan lain dengan cara yang berbeda," kata Jost.
Dia pun menyoroti tentang rancangan undang-undang pernikahan sesama jenis yang saat ini sedang diproses di parlemen Swiss. Meskipun ayahnya adalah seorang gay, Jost tetap mengaku tak terlalu nyaman dengan perkembangan tersebut.