Selasa 11 Feb 2020 11:18 WIB

Terus Diserang, Idlib Bak Hari Kiamat

Sejak Desember lalu, pasukan Suriah dibantu Rusia dan milisi Iran terus gempur Idlib.

TIm SAR mengevakuasi jenazah dari  gedung yang hancur akibat serangan udara pasukan pemerintah di Kota Ariha, Provinsi Idlib Suriah. (ilustrasi)
Foto: Ghaith Alsyayad/AP
TIm SAR mengevakuasi jenazah dari gedung yang hancur akibat serangan udara pasukan pemerintah di Kota Ariha, Provinsi Idlib Suriah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Kamran Dikarma

Situasi di Provinsi Idlib, Suriah, masih mencekam. Pasukan pemerintah, dibantu tentara Rusia dan milisi Iran, terus merangsek serta berusaha merebut wilayah tersebut dari kelompok oposisi bersenjata. Warga sipil pun terjebak.

Obadai Dandoush yang bekerja untuk Syrian Relief and Development harus menyaksikan pemandangan yang cukup mengerikan di Idlib. "Situasinya 20 kali lebih buruk daripada tahun lalu. Selama rentang tahun lalu, kami memiliki 1,2 juta orang yang telantar (di barat laut Suriah)," ungkapnya, dikutip laman Aljazirah, Senin (10/2).

Menurut Dandoush, tak banyak bantuan kemanusiaan yang dapat mencapai Idlib. Hal itu mengancam kehidupan warga di sana. Ia mencemaskan bencana kelaparan seperti di Yaman dapat terjadi di wilayah tersebut.

Seorang pekerja media untuk organisasi kemanusiaan Turki IHH Humanitarian Relief Foundation, Saeed Ezz al-Din, mengungkapkan, terjadi kekurangan bantuan dasar untuk warga Idlib, termasuk makanan, air bersih, obat-obatan, pakaian hangat, bahan bakar, dan tenda. Suhu yang rendah telah menyebabkan sejumlah kematian, termasuk kepada anak- anak.

"Perumahan sementara sangat dibutuhkan karena tidak ada cukup ruang di kamp yang ada untuk menampung pendatang baru," ujar Ezz al-Din. Dia mengatakan, IHH dan beberapa kelompok kemanusiaan Turki lainnya sedang berusaha membuka kamp-kamp baru yang dapat menampung puluhan ribu orang.

Anggota persatuan dokter di Idlib, Habib Khashouf, membenarkan bahwa banyak pengungsi di sana yang terpaksa tidur di tempat terbuka. Dia mencatat, lebih dari 2.000 keluarga bergerak ke wilayah Jisr al-Shughour di Idlib barat untuk menemukan bantuan makanan atau tempat bernaung.

Sara, seorang ibu berusia 38 tahun, memutuskan meninggalkan Kota Saraqeb yang baru dikuasai militer Suriah. Setelah tiba di Aqrabat, desa di perbatasan Suriah-Turki yang dikelilingi kamp pengungsi, Sara tetap tak menemukan tempat berlindung. "Saya hanya menggelar beberapa tikar di atas lumpur di bawah pohon dan di sanalah tempat saya tidur," ucapnya.

Sara cukup beruntung karena bertemu keluarga saudara perempuannya di sana. Saat ini dia tinggal di ruangan dengan dua kamar yang dihuni 20 orang. Sara dan keluarganya harus membayar uang sewa sebesar 160 ribu lira atau sekitar Rp 2 juta per bulan.

Sara mengaku tak melihat organisasi lokal atau internasional yang mendistribusikan bantuan di daerah tersebut. Oleh sebab itu, dia dan keluarganya harus berjuang untuk menafkahi diri mereka sendiri.

Melonjaknya inflasi lira Suriah dan pertempuran yang masih berlangsung telah mengakibatkan semua harga kebutuhan pokok melejit. Untuk membeli tabung gas, misalnya, Sara dan keluarganya harus mengeluarkan uang 13.

500 lira.

Karena harganya selangit, mereka pun memutuskan memasak menggunakan kayu bakar. Air bersih sulit ditemukan. Sementara itu, sayur dan buah-buahan hanya impian belaka. "Saya terus berjalan hanya demi anak-anak saya. Situasinya sangat buruk. Ini seperti hari kiamat," ujar Sara.

photo
Pejalan kaki melintasi gedung yang hancui akibat serangan udara pasukan pemerintah di Kota Ariha, Provinsi Idlib Suriah, Rabu (15/1).

Sejak Desember tahun lalu, pasukan Suriah dibantu Rusia terus menggempur Idlib. Provinsi itu merupakan wilayah terakhir yang masih dikuasai kelompok oposisi bersenjata.

Menurut PBB, lebih dari 300 warga sipil tewas selama pasukan Suriah dan Rusia melancarkan serangan ke Idlib. Sementara itu, sekitar 600 ribu lainnya kehilangan tempat tinggal.

Pertempuran di Idlib tak hanya melibatkan pasukan Pemerintah Suriah dan kelompok oposisi bersenjata tetapi juga Turki. Ankara diketahui mendukung kelompok pemberontak yang pernah bertujuan menggulingkan pemerin tahan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Turki memiliki 12 pos pengamatan militer di Idlib. Pihaknya menyebut tiga pos terdepan, yang seluruhnya terletak di tenggara Idlib, telah dikepung tentara Suriah. Turki mengancam akan merespons aksi pasukan Suriah jika pos- pos pengamatan militernya diserang.

Pos-pos pengamatan Turki di Idlib didirikan berdasarkan kesepakatan dengan Rusia pada 2018. Tujuannya adalah mencegah terjadinya pertempuran besar yang berpotensi memicu krisis kemanusiaan berikutnya.

Akhir pekan lalu para pejabat Turki dan Rusia bertemu di Ankara untuk mendiskusikan krisis di Idlib. Sementara itu, Iran menyatakan siap membantu Turki dan Suriah menyelesaikan perbedaan pandangan terkait perang yang telah berlangsung selama hampir sembilan tahun di negara tersebut. Hal itu disampaikan pejabat Kementerian Luar Negeri Iran saat bertemu utusan PBB untuk Suriah Geir Pedersen.

Konflik sipil Suriah berlangsung sejak 2011. Lebih dari 380 ribu warga tewas selama peperangan. Pertempuran dalam jangka waktu yang cukup panjang itu juga telah memaksa jutaan warga Suriah mengungsi ke berbagai negara di dunia, terutama Eropa.

Turki merupakan negara yang paling banyak menampung pengungsi Suriah. Tercatat 3,6 juta pengungsi Suriah tinggal di Turki. (reuters ed: yeyen rostiyani)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement